Kita sering melangkah ke pelaminan dengan hati penuh cinta, tapi juga dengan kepala penuh bayangan. Kita bukan hanya menikahi seseorang, melainkan juga membawa imajinasi tentang siapa dia seharusnya. Di situlah awal mula banyak pernikahan perlahan mati tanpa suara---bukan karena kebencian, tapi karena kita ternyata menikahi ilusi, bukan manusia nyata di hadapan kita.
Dalam perjalanan pernikahan, cinta bukan sesuatu yang berhenti di akad. Ia adalah perjalanan panjang yang perlu dipelihara di setiap tahap kehidupan rumah tangga. Seperti halnya tahapan menumbuhkan cinta: dari honeymoon, penyesuaian, hingga re-evaluasi, cinta selalu menuntut kesadaran dan usaha yang terus diperbarui.
Pada masa honeymoon, pasangan cenderung menonjolkan kesamaan, menekan perbedaan, dan menampilkan sisi terbaik masing-masing. Dunia terasa sempurna. Namun, seiring waktu masuk ke tahap penyesuaian, realitas mulai bicara: tanggung jawab bertambah, karakter asli muncul, komunikasi diuji. Di sinilah banyak cinta mulai diuji. Ketika ilusi kesempurnaan pudar, sebagian orang mulai ragu apakah mereka masih mencintai pasangannya. Padahal, cinta sejati baru mulai tumbuh di tahap ini---ketika dua hati belajar memahami dan menyesuaikan diri.
Tahap berikutnya, re-evaluasi, adalah masa kedewasaan cinta. Pasangan mulai mengenali kelebihan dan kekurangan satu sama lain, tidak lagi berusaha mengubah, melainkan menumbuhkan. Mereka menjadi partner hidup, bukan sekadar suami-istri yang tinggal serumah. Di titik inilah cinta menemukan bentuknya yang paling tenang---ketika yang tersisa bukan lagi ilusi, tetapi kesetiaan, rasa percaya, dan komitmen.
Psikolog Robert Sternberg pernah menggambarkan cinta dengan segitiga cinta (the triangular theory of love) yang terdiri dari tiga sisi: keintiman, gairah, dan komitmen.
- Keintiman melambangkan kedekatan emosional---rasa aman, saling percaya, dan keterhubungan batin.
- Gairah adalah daya tarik fisik dan romantis yang membuat hubungan tetap hangat dan bergelora.
- Komitmen adalah keputusan untuk tetap bersama meski badai datang, menjaga janji, dan bertahan dengan kesetiaan.
Ketika tiga sisi ini seimbang, cinta menjadi kokoh. Namun jika salah satunya hilang, cinta bisa timpang. Banyak pasangan yang kehilangan keintiman karena sibuk dengan rutinitas, kehilangan gairah karena lelah menghadapi hidup, atau kehilangan komitmen karena tergoda pada ilusi kebahagiaan yang lain.
Padahal, cinta sejati tidak datang dengan sendirinya. Ia tumbuh dari kesadaran untuk terus menumbuhkannya. Menikah bukan akhir dari cinta, melainkan titik awal untuk belajar mencintai ulang setiap hari. Cinta perlu dirawat seperti tanaman --- disiram dengan perhatian, diberi cahaya doa, dan dijaga dari gulma prasangka.
Kita sering lupa bahwa pasangan yang kita pilih juga manusia yang berproses. Ia tidak selalu seperti yang kita harapkan, tapi di situlah letak keindahan pernikahan. Mencintai bukan berarti menuntut, tetapi menerima dan tumbuh bersama.
Jika ingin pernikahanmu hidup, biarkan ilusi itu mati terlebih dahulu. Lepaskan bayangan tentang pasangan ideal, dan cintailah manusia nyata yang Allah hadirkan di sisimu. Karena cinta sejati tidak lahir dari kesempurnaan, melainkan dari perjuangan dua hati yang saling berpegang di tengah ketidaksempurnaan.
Sebab pada akhirnya, the most silent killer of our marriage bukanlah jarak atau pertengkaran,
melainkan ketika kita mencintai bayangan, dan lupa mengenal manusia yang sebenarnya kita nikahi. (BM)