Mohon tunggu...
Ariana Maharani
Ariana Maharani Mohon Tunggu... MD

Pediatric resident and postgraduate student of clinical medical science at Universitas Gadjah Mada, Instagram: @arianamaharani

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Bayi Baru Lahir di Pelukan Ibu Bipolar

12 Oktober 2025   13:51 Diperbarui: 12 Oktober 2025   13:51 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Di ruang operasi yang sunyi, hanya ada suara napas dan tangisan pertama yang pecah dari bayi kecil itu. Seorang ibu memandanginya dengan mata sembab, wajah lelah, dan dada yang bergetar antara haru dan gentar. Di matanya, terpantul keajaiban yaitu kehidupan baru yang kini bergantung sepenuhnya padanya. Namun di luar ruang itu, ada bisik-bisik yang menusuk, "Dia bipolar, bagaimana bisa dia merawat bayinya?" atau "Nanti kalau kambuh, siapa yang tanggung jawab?" Kata-kata itu tak terdengar langsung olehnya, tapi terasa di udara, menempel di setiap pandangan yang meragukan. Ia tahu dunia mencemaskannya, tapi tidak ada yang benar-benar sungguh ingin memahami.

Padahal, di balik diagnosis bipolar yang sering membuat orang menjauh, tersimpan seorang ibu dengan hati yang sama hangatnya. Seorang ibu dengan bipolar, yang tetap memiliki naluri untuk melindungi anaknya. Ia tetap terbangun di tengah malam ketika bayinya menangis. Ia tetap menatap wajah mungil itu dengan kekaguman yang membungkam rasa lelah. 

Support system bukan sekadar "membantu bila perlu", tapi menjadi bagian aktif dari perjalanan keibuan. Suami, misalnya, punya peran sentral. Ia bukan hanya pendamping emosional, tapi juga penjaga ritme keseharian. Memastikan sang ibu cukup tidur, makan teratur, dan tidak menanggung semua tanggung jawab bayi sendirian. Ketika ibu mulai menunjukkan tanda-tanda perubahan mood, suami bisa menjadi pengingat lembut untuk istirahat, menemani ke psikiater, atau sekadar mendengarkan tanpa menghakimi.

Keluarga besar pun memiliki peran yang tak kalah penting. Ibu atau ayah dari sang ibu, kakek-nenek dari si bayi, bisa menjadi penopang yang membuat keadaan lebih stabil. Mereka dapat mengambil alih tugas rumah tangga sementara, menemani kontrol ke rumah sakit, atau bahkan hanya hadir memberi rasa aman. Dalam situasi di mana kelelahan dan stres pasca melahirkan bisa memicu kekambuhan, dukungan keluarga seperti ini sering kali menjadi pembeda antara kekacauan dan ketenangan.

Teman dan lingkungan sosial juga bagian dari support system yang sering dilupakan. Teman yang mau mengunjungi, mengajak berbincang ringan, atau sekadar mengingatkan bahwa sang ibu tidak sendirian, semua itu punya kekuatan penyembuh yang luar biasa. Komunitas ibu dengan gangguan jiwa, baik daring maupun luring, juga bisa menjadi ruang aman untuk berbagi pengalaman tanpa takut stigma. Di sana, seorang ibu bipolar bisa belajar bahwa banyak perempuan lain yang berjuang hal serupa, bahwa ia bukan satu-satunya, dan bahwa perjuangannya adalah valid.

Peran tenaga kesehatan pun sangat vital. Psikiater, bidan, dan perawat tidak hanya bertugas memantau kondisi klinis, tapi juga mengedukasi keluarga tentang bagaimana memberikan dukungan yang efektif. Dengan pengaturan obat yang aman untuk ibu menyusui dan jadwal pemantauan rutin, ibu bisa tetap menjalankan perannya tanpa kehilangan keseimbangan. Dalam sistem kesehatan sudah seyogyanya ada jembatan antara hal medis dan dukungan sosial, memastikan bahwa ibu tidak dibiarkan sendiri menghadapi badai hormonal dan emosional pasca melahirkan.

Dan masyarakat, yang sering kali menjadi sumber stigma, seharusnya justru menjadi pelindung. Daripada menghakimi kemampuan seorang ibu bipolar, lebih bijak bila masyarakat belajar memahami bahwa gangguan mental bukan akhir dari kemampuan mengasuh. Justru dengan pengetahuan, empati, dan dukungan yang benar, seorang ibu bipolar dapat tumbuh menjadi figur pengasuh yang penuh kesadaran dan kasih.

Pada akhirnya, dukungan bagi ibu dengan bipolar bukan hanya soal membantu ia bertahan, tapi tentang memastikan cinta seorang ibu bisa tumbuh tanpa terhambat rasa takut atau rasa bersalah. Support system yang kokoh akan mengubah "aku takut tak mampu" menjadi "aku tidak sendiri".

Sebab ibu tetaplah seorang ibu, meski pikirannya kadang berperang, hatinya tetap berdegup untuk anaknya. Dan ketika tangan-tangan di sekitarnya mau menggenggam, ia akan menemukan kekuatannya kembali. Karena pada setiap ibu yang berjuang dengan bipolar, ada dua kehidupan yang perlu dirawat: bayinya, dan dirinya sendiri. Dan keduanya hanya akan tumbuh baik jika dunia bersedia menenun kasih menjadi jaring penopang di sekeliling mereka. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun