Banyak orang mengenal Bhinneka Tunggal Ika sebagai lambang persatuan modern. Kenyataannya, riwayatnya jauh lebih berliku.
Pada mulanya frasa ini tidak bicara soal persatuan bangsa. Maknanya lebih sakral, berpusat pada ketuhanan.
Ia merangkul dua ajaran besar yang dianggap berbeda: Buddha dan Siwa. Ungkapan ini berasal dari Kakawin Sutasoma, karya Mpu Tantular. Ditulis pada masa keemasan Majapahit ketika Hayam Wuruk memerintah.
Dalam konteks aslinya, Bhinneka Tunggal Ika memuat gagasan filosofis yang dalam (Soewito Santoso, 1968).
Di sana ditegaskan, "Buddha dan Siwa dua yang berbeda." Lalu ditanya, bagaimana kita mengenalinya jika pada hakikatnya "ajaran Jina dan Siwa adalah satu."
Intinya jelas: "berbeda tetapi tetap satu," "tiada kebenaran yang mendua." Pesan ini menekankan bahwa ajaran Hindu-Siwa dan Buddha sehakikatnya tunggal.
Jauh dari cara kita memaknai semboyan itu. Sekarang yang lebih bertumpu pada persatuan sosial dan politik.
Para sarjana membaca teks ini dengan sudut pandang yang beragam. Banyak yang melihatnya sebagai cerminan harmoni keberagamaan di Majapahit. Saat umat Hindu dan Buddha hidup berdampingan.
Namun ada tafsir lain dari Utomo dan Purwanto. Menurut mereka, Sutasoma membawa kritik yang disamarkan.
Mereka membacanya sebagai teguran Mpu Tantular terhadap hard power Hayam Wuruk. Yang menekankan penyatuan lewat kekuatan militer (Utomo dan Purwanto, 2019).
Pembacaan seperti ini mengingatkan kita bahwa karya sastra kuno kerap menyimpan pesan tersembunyi. Penyatuan wilayah luas dengan kekerasan hampir selalu berujung darah.