Lihat ke Halaman Asli

Ngalah, Ngalih, Ngamuk : Tangga Eskalasi Etis Jawa dan Kritik Atas Harmoni Palsu

Diperbarui: 29 September 2025   15:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pernahkah mendengar filosofi jawa yakni ngalah, ngalih, ngamuk?, mengapa urutannya demikian?. Filosofi adalah seluruh sistem pemikiran, nilai nilai, dan panduan hidup yang dikembangkan serta dipegang teguh Masyarakat, dengan begitu ngalah, ngalih, ngamuk sangat dipegang teguh oleh suku jawa. Filosofi tersebut dapat dikategorikan tentang bagaimana orang suku jawa mengelola konflik yang dihadapinya.

Selayaknya sebuah filosofi, ngalah, ngalih, ngamuk juga tak diketahui dengan pasti kapan ada dan siapa yang mencetuskannya, berkembang dan dipegang teguh secara turun menurun. Sebelumnya perlu diketahui bahwa suku jawa adalah salah satu suku yang memelihara keteraturan, keseimbangan atau ketertiban dalam hubungan sosialnya. Filosofi ini lahir dari dna suku jawa yang demikian.

Mengapa "ngalah" diletakan yang pertama? Hal ini terkait dengan DNA suku jawa yang kental dengan kerukunan dan keharmonisan social. Ngalah dipercayai sebagai salah satu Upaya preventif Dengan mengalah, seseorang menunjukkan sikap tidak konfrontatif dan memprioritaskan kedamaian bersama. Ini adalah investasi sosial. Orang yang mengalah dianggap lebih berjiwa besar (legowo) dan berupaya mencegah masalah kecil menjadi besar. Namun, filosofi ngalah ini juga memiliki sisi gelap. Dalam konteks sosial yang hierarkis, tuntutan untuk "ngalah" seringkali hanya dibebankan pada pihak yang lemah---rakyat kecil, bawahan, atau perempuan---demi menjaga harmoni palsu. Sikap ini berisiko menjadi alat pelanggeng kekuasaan yang menekan suara kritis dan membiarkan ketidakadilan terus berlangsung, asal tidak menimbulkan konflik terbuka.

Ngalah juga sebagai Upaya pengendalian diri Filosofi ini mengajarkan bahwa orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya. Orang yang langsung marah (ngamuk) atau lari (ngalih) dianggap dikuasai oleh emosi sesaat. Dengan ngalah, seseorang melatih kesabaran dan kesadaran (eling lan waspada), percaya bahwa dengan bersabar, hasil akhir (wekasane) akan lebih baik. Di tengah persaingan modern, sikap ngalah yang luhur ini juga rentan disalahartikan sebagai kelemahan atau ketidakmampuan berkonflik. Akibatnya, pihak yang mengalah justru rawan dieksploitasi dalam lingkungan profesional atau politik yang menganggap ketenangan batin sebagai kurangnya ambisi.

Dalam konteks konflik, mengalah memberi waktu dan ruang bagi kedua belah pihak untuk merenung dan kebenaran untuk terungkap.

  • Jika langsung ngamuk, situasinya akan menjadi perang ego. Jika langsung ngalih, masalahnya tidak terselesaikan, hanya dipindahkan.

  • Dengan ngalah, orang Jawa memberi kesempatan kepada pihak lain untuk menyadari kesalahannya atau untuk situasi mereda dengan sendirinya tanpa harus mengeluarkan energi besar.

Ngalah adalah gerbang pertama yang harus dilewati untuk memastikan bahwa langkah-langkah selanjutnya (berpindah, apalagi melawan) benar-benar terpaksa dan bukan didorong oleh kemarahan semata. Ini memastikan tindakan perlawanan di fase ngamuk memiliki legitimasi moral yang kuat.

Ngalih juga bisa berarti "mengubah cara pandang" atau "mengganti strategi" dalam menghadapi masalah yang sama. Misalnya, sudah coba berbicara baik-baik (Ngalah), tidak berhasil, lalu Ngalih dengan mencari bantuan pihak ketiga, mengubah jalur komunikasi, atau mengubah fokus bisnis. Ini menunjukkan Ngalih adalah fleksibilitas adaptif.

Dalam etika Jawa, seseorang tidak boleh langsung "menyerah" pada masalah dengan cara lari (Ngalih) tanpa upaya perdamaian (Ngalah) terlebih dahulu. Ngalah menunjukkan bahwa Anda telah memenuhi tanggung jawab moral untuk menjaga kerukunan. Ngalih (berpindah) saat konflik baru terjadi, itu bisa diartikan sebagai kelemahan atau sikap tidak bertanggung jawab. Namun, jika Ngalih setelah Anda mencoba Ngalah, tindakan itu memiliki legitimasi moral yang kuat.

Filosofi ini bagi orang jawa tidak mungkin di balik balik lagi, karena mereka membutuhkan legitimasi atau alasan yang kuat untuk "Ngamuk" melawan apa yang dirasa tidak adil. Dengan mengingat ini orang dari suku jawa terlihat lebih bisa menata emosinya Ketika mengahadapi konflik, mereka tidak akan langsung untuk berkonfrontasi namun akan mengupayakan perdamaian "ngalah" jika tak berhasil mereka akan mengambil jarak "ngalih" namun jika itu juga dirasa tidak memberikan keadilan maka mereka akan "ngamuk" atau melawan. Di era modern, tindakan "Ngamuk" ini bertransformasi. Bukan lagi sekadar amuk fisik, tetapi dapat diwujudkan melalui kritik kolektif yang viral, boikot, atau tindakan cancel culture di media sosial. Hal ini menunjukkan bahwa batas kesabaran kolektif telah terlampaui. Filosofi Ngalah, Ngalih, Ngamuk hari ini adalah pengingat bahwa meskipun ketenangan batin penting, setiap individu pada akhirnya memiliki hak dan kewajiban moral untuk melawan ketidakadilan, asalkan dilakukan secara bertahap dan dengan alasan yang tidak terbantahkan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline