Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tak Semua Hal Harus Dikompetisikan

7 Oktober 2025   10:54 Diperbarui: 7 Oktober 2025   17:47 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hidup bukanlah perlombaan non-stop yang harus dimenangkan (Ilustrasi oleh Hieu Van via Pixabay)

Sekitar seminggu setelah sidang skripsi, seorang teman menelepon untuk menanyakan IPK saya. Ketika saya memberitahunya, ia menghela napas. Ia bilang akan menunda sidangnya sendiri agar bisa lulus dan wisuda di gelombang berikutnya. Saya heran bukan kepalang karena, setahu saya, orang ingin lulus secepat mungkin. Mengapa ia malah menundanya?

Jawabannya bikin saya bergidik: jika ia lulus bersama saya, IPK-nya tidak akan cukup untuk meraih predikat "wisudawan terbaik".

Saya merasa malu sendiri saat mendengarnya. Bukan karena semacam jijik atau benci padanya, melainkan karena saya juga sempat menjadi orang seperti itu. Saya mulai melihat ke belakang dan bertanya-tanya apakah orang lain pernah merasa seperti yang saya rasakan terhadap teman saya. Mungkin iya, mungkin tidak. Yang pasti, ada masanya saya ingin mengambil semua pujian yang ada.

Namun, ini bukan tentang saya atau teman saya. Ini tentang kita semua yang semakin melihat dan memperlakukan hidup selayaknya turnamen abadi, sering kali di arena di mana seharusnya tidak ada yang menghitung skor.

Sebuah penelitian terkemuka tentang pendapatan relatif mengilustrasikan insting tersebut dengan akurat. Para peneliti menemukan bahwa hampir separuh responden lebih memilih berpenghasilan $50.000 di dunia dengan gaji rata-rata $25.000, daripada berpenghasilan $100.000 di dunia dengan gaji rata-rata $200.000.

Itu berarti banyak orang yang sudi pendapatan absolutnya lebih kecil, asal jumlah tersebut masih lebih besar dibandingkan tetangga atau kerabatnya. Seperti ungkap lelucon klasik: "Jika kau dan aku dikejar beruang, aku tidak perlu berlari lebih cepat dari beruang itu; aku hanya perlu berlari lebih cepat darimu."

Sejujurnya, tidak ada yang baru. Kita selalu menjadi spesies yang kompetitif; para ahli biologi evolusioner akan mengingatkan kita bahwa bertahan hidup itu sendiri adalah sebuah kontes. Yang terasa berbeda sekarang adalah sejauh mana logika menang-kalah telah menjajah sudut-sudut kehidupan yang dulu terasa kebal darinya, terkadang sampai tingkat yang benar-benar absurd.

Sistem pendidikan, misalnya, semakin kompetitif dari tahun ke tahun, terutama pada level perguruan tinggi. Sekalinya diterima, IPK bagus saja tidak cukup; Anda harus menjadi lulusan terbaik. Demikian pula, banyak orang pontang-panting dan saling menginjak hanya untuk mendapatkan pekerjaan bergaji rendah. Begitu masuk, sekadar bekerja dengan baik saja tidak cukup. Kinerja karyawan diperingkatkan; Anda harus menjadi "karyawan paling teladan" setiap bulannya.

Baca juga: Who

Pola pikir tersebut kini merembes ke waktu luang kita.

Sebuah hobi, mungkin memancing atau bermain gitar, harus bisa diukur agar terasa bermakna. Jogging bukan sekadar olahraga demi kesehatan; ia juga menjadi ajang pencarian validasi sosial dengan orang berlomba mengunggah statistik Strava-nya di Instagram. Membaca buku tidak lagi cukup dinikmati; ia menjadi titik data di Goodreads, diperingkatkan dan dibandingkan dengan "pencapaian" orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun