Dan hampir semua orang tahu bahwa media sosial telah menjadi platform untuk adu"portofolio". Siapa yang paling berprestasi? Siapa yang kariernya paling menarik? Siapa yang liburannya paling jauh atau paling sering? Siapa yang rumahnya paling megah? Siapa yang makan malamnya paling estetis? Siapa yang mengambil selfie terbaik? Siapa yang pacarnya paling rupawan? Daftarnya tidak pernah usai.
Saking meresapnya, banyak orang bahkan berkompetisi dengan dirinya sendiri. Anda tahu mantranya: "Pesaing terberatmu adalah dirimu sendiri. Jadilah lebih baik dari dirimu yang kemarin. Esok harus lebih baik dari hari ini, dan lusa harus lebih baik dari esok."
Mereka melihat dirinya sendiri sebagai sejenis "proyek" tanpa akhir yang perlu dioptimalkan. Selalu ada keterampilan baru untuk dikuasai, kiat produktivitas baru untuk diterapkan, dan kelemahan baru untuk diatasi. Seolah setiap orang memiliki suara internal yang menuntut lebih banyak, lebih cepat, lebih baru, lebih baik, lebih besar.
Profesor komunikasi Carolyn Hardin menyebut pergeseran sosial ini sebagai "korporatisme", sebuah proses di mana kita semua memperlakukan dan diperlakukan layaknya perusahaan yang berorientasi pada laba. Kita, dalam arti tertentu, harus mengoptimalkan waktu dan energi untuk memaksimalkan uang. Kita harus terus berinovasi dan berjejaring semata-mata demi meningkatkan prospek profit.
Buka LinkedIn dan Anda akan memahaminya. Di situ, para pengguna menampilkan dirinya sebagai sekeranjang keterampilan yang dapat dipertukarkan, yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan pemberi kerja mana pun. Tidak ada karakteristik esensial apa pun selain ketaatan. Mereka senantiasa merasa genting untuk memenuhi permintaan pasar tenaga kerja yang terus berubah.
Hasilnya adalah seluruh populasi yang berlari non-stop di atas roda hamster.
Apa akibatnya? Yang paling mencolok, masyarakat tereduksi menjadi sebuah dikotomi kasar antara "pemenang" dan "pecundang". Jika Anda bukan pemenang, maka Anda pecundang, dan sebaliknya. Hidup menjadi permainan menang-kalah mutlak (zero-sum game) yang harus dimenangkan, dan orang lain menjadi aset atau rintangan dalam memenangkan permainan tersebut.
Dalam kalkulus yang absurd ini, berpikir egois dan bertindak serakah dinormalisasi sebagai cara logis untuk bertahan hidup di dunia yang konon hanya menghargai para pemenang, sementara perilaku prososial seperti gotong royong dianggap "bodoh" karena itu berarti membantu orang lain unggul dalam perlombaan. Apa pun ikatannya, saudara atau sahabat sekalipun, status abadinya adalah pesaing potensial.
Dunia pun dipenuhi oleh para "kalkulator", yang masing-masing terus menilai apa yang bisa mereka dapatkan dan dari siapa. Dalam hal apa pun yang dilakukan, titik akhirnya bukanlah imbalan intrinsik dari aktivitas tersebut, melainkan sensasi menaklukkan orang lain, atau lebih seringnya sebatas kelegaan karena tidak menjadi pecundang.
Kenyataannya, tentu saja, tidak ada yang benar-benar menang dalam permainan ini. Justru sebaliknya, sebagian besar orang (jika tidak semua) merasa dirinya sebagai pecundang. Garis finis terus bergerak. Selalu ada panggung yang lebih besar, peringkat yang lebih tinggi, waktu yang lebih cepat. Tekanan yang tak berujung ini menghasilkan "keausan psikologis" kolektif: rasa tidak berdaya, kecemasan, depresi, dan kesepian.
Masalahnya, perlu saya perjelas, bukanlah kompetisi itu sendiri. Persaingan yang sehat dapat mengasah keterampilan, merangsang inovasi, dan menyuntikkan sedikit kegembiraan ke dalam hal-hal yang membosankan. Olahraga, sains, dan bahkan seni telah lama berkembang pesat berkat adanya sisi kompetitif. Jelas absurd menuntut Lionel Messi mencetak gol bunuh diri sebagai wujud "rendah hati" kepada lawannya.