Taman kecil di depan rumah saya awalnya hanya kerjaan iseng. Waktu itu saya baru saja menyelesaikan renovasi bagian depan, dan rasanya ada yang kurang kalau hanya dibiarkan kosong.
Saya mulai menanam beberapa pohon, semak, dan bunga yang saya suka. Tidak ada desain khusus, hanya mengikuti naluri dan usulan tukang tanam saja.
Saya pilih tanaman yang mudah dirawat dan tahan panas, seperti kamboja, pandan wangi, dan melati. Lama-lama, taman itu tumbuh dengan sendirinya. Rumput liar ikut muncul, beberapa tanaman menjalar ke pagar, dan daun-daun kering kadang menumpuk di sudut. Tapi saya tidak terlalu ambil pusing. Buat saya, taman itu hidup apa adanya.
Setiap pagi, saya buka gorden dan melihat ke arah taman. Kadang berdiri lama di depan jendela memandang taman. Ada rasa tenang yang muncul saat melihat daun-daun bergoyang pelan, atau saat mendengar suara burung dari kejauhan. Tapi ketenangan itu tidak selalu bertahan lama karena mesti melakukan hal yang lain.
Istri saya beberapa kali mengeluh soal taman yang terlalu rimbun. Katanya, terlalu banyak semak dan tanaman liar yang tumbuh tanpa arah. Ia khawatir taman itu jadi tempat bersarang serangga, terutama lebah kecil yang kadang terlihat mondar-mandir di sekitar bunga pandan.
Pernah suatu pagi, ia menemukan sarang lebah kecil di balik pot. Langsung panik, minta saya bersihkan semuanya. Ia takut lebah itu masuk ke rumah, menyengat anak-anak, atau membuat suasana jadi tidak nyaman.
Saya mengerti kekhawatirannya. Rumah seharusnya jadi tempat aman, bukan tempat yang bikin cemas. Tapi di sisi lain, saya merasa taman itu punya kehidupan sendiri.
Lebah-lebah kecil itu tidak pernah mengganggu. Mereka hanya datang sebentar, mengambil nektar, lalu pergi. Sama seperti burung-burung yang sering hinggap di pagar atau di dahan kamboja. Mereka tidak saya pelihara, tidak saya beri makan, tapi mereka datang setiap hari. Seolah-olah taman itu adalah bagian dari hidup mereka juga.
Pernah suatu sore, saya sedang menyiram tanaman saat seekor burung kecil hinggap di pagar. Tubuhnya mungil, bulunya abu-abu dengan sedikit garis putih di sayapnya. Ia diam saja, tidak terbang meski saya cukup dekat.
Saya berhenti menyiram, hanya memperhatikan. Burung itu menoleh sebentar, lalu kembali menatap ke arah taman. Setelah beberapa menit, ia terbang pergi. Tapi kehadirannya terasa.