Saya juga mulai mengubah cara saya memandang taman. Dulu saya merasa harus mengatur segalanya. Tapi sekarang saya belajar menerima bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dikendalikan, dan justru di situlah keindahannya. Taman yang terlalu rapi kadang terasa dingin. Tapi taman yang sedikit berantakan, dengan daun-daun kering di sudut dan rumput liar di sela-sela batu, justru terasa hangat. Setiap kali saya duduk di teras, saya merasa seperti sedang berada di ruang yang hidup. Bukan hanya karena tanaman, tapi karena kehadiran makhluk-makhluk kecil itu. Mereka tidak bicara, tidak bersuara keras, tapi mereka ada. Dan kehadiran mereka membuat taman ini terasa lengkap.
Saya juga belajar bahwa tidak semua yang hadir harus kita miliki. Burung itu, lebah-lebah kecil, kupu-kupu, mereka datang dan pergi. Kita tidak bisa menahan mereka, tidak bisa memaksa mereka tinggal. Tapi kita bisa menciptakan ruang yang ramah, yang membuat mereka ingin datang kembali. Dan itu lebih penting daripada memiliki.
Di akhir hari, saat matahari mulai tenggelam, angin sore membawa aroma tanah dan bunga melati. Burung itu datang lagi, kali ini hanya sebentar. Ia hinggap di pagar, lalu terbang pergi. Tapi kehadirannya cukup untuk membuat saya tersenyum. Ia tidak pernah saya pelihara, tapi ia selalu datang. Dan itu sudah cukup.
Taman ini mengajarkan saya banyak hal. Tentang menerima, tentang berbagi, dan tentang keindahan yang tidak bisa dimiliki. Ia menjadi ruang spiritual, bukan hanya fisik. Tempat di mana kehidupan berjalan tanpa suara, tapi penuh makna. Dan saya bersyukur bisa menjadi bagian dari itu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI