Lihat ke Halaman Asli

Mencari Satrio Piningit Indonesia

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

(Oleh: Dwi Widodo, Staff Kajian dan Aksi Strategis BEM FEUI 2014)

Tahun ini dapat dipastikan Indonesia akan mempunyai sosok pemimpin baru yang akan menjabat sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan melalui suatu sistem yang sudah disepakati yang bernama ‘demokrasi’. Instrumen yang akan digunakan pun sudah disepakati yaitu dengan pemilihan umum (pemilu). Pemilu sejatinya adalah perebutan suara. Pemimpin terpilih mewakili jutaan suara yang memilihnya. Padahal, reresentasi bukan sekedar jumlah suara. Pemimpin harusnya mewakili sesuatu yang jauh lebih sakral dibandingkan angka-angka. Kita dapat menyebutnya ideologi atau sesuatu yang lain.

Representasi adalah suara dimana satu orang satu suara. Ini model representasi modern yang disebut oleh filsuf Jerman, Carl Schmitt, sebagai reproduksi teknologis. Reproduksi teknologis adalah replikasi masal obyek material tanpa menyentuh esensi atau substansi obyek tersebut. Presiden hanya mewakili suara (kuantitatif) rakyat, dia abai terhadap persoalan substantif yang dialami rakyat, seperti kemiskinan, kebodohan, dan kelaparan.

Padahal sejatinya tidak demikian. Representasi politik tidak sama dengan sekian juta suara yang memilihnya. Representasi politik bukan kerja sesaat. Itu merupakan suatu kerja berkelanjutan dalam mematerialisasi substansi vital yang belum tentu hadir dalam jumlah suara. Pemimpin republik ini harus mampu menangkap dan mengkonversi esensi suara yang diwakilinya menjadi kebijakan dan atau legislasi. Bukan sekedar memimpin berdasarkan pesanan pihak ketiga.

Dalam pemilu, presiden terpilih merupakan representasi politik yang diilih secara langsung. Dia adalah sekian juta suara yang memilihnya, habis perkara. Seolah semua selesai begitu rekapitulasi suara selesai dihitung dan pemenang diumumkan. Padahal yang jauh lebih penting yang harus ia wakili adalah idelogi dan ideologi bukanlah suara terbanyak. Ideologi merupakan seperangkat keyakinan politik yang diinstitusionalisasikan kedalam bentuk kepartaian dan memiliki keluaran berupa program dan kebijakan. Presiden tak lain adalah perpanjangtanganan ideologi partai pengusungnya.

Pemimpin Artifisial

Kehadiran pemimpin republik ini tidak boleh berwujud artifisial. Pengertian istilah artifisial umumnya disebut sebagai tidak alami atau buatan. Dalam dunia teknologi kata ini sering dipergunakan sehingga muncul istilah “Artificial intelligence” atau kecerdasan buatan. Walaupun perkembangan teknologi artificial intelligence dapat menggantikan posisi manusia, tetapi tetap saja memiliki kekurangan dan keterbatasan, karena teknologi artificial intelligence tidak memiliki common sense yang hanya dapat dimiliki oleh manusia, dan kecerdasan yang ada pada artificial intelligence terbatas pada apa yang diberikan, atau terbatas pada program yang diberikan, serta tidak dapat mengolah informasi yang tidak ada dalam sistemnya.

Pemimpin artifisial eksis dengan polesan citra-citra. Pemimpin buatan semacam ini tidak akan membawa Indonesia menjadi negara besar. Dulu Indonesia pernah merasakan kejayaan dimana disejajarkan dengan negara-negara besar dunia. Tentu bukan dengan pemimpin artifisial melainkan seorang pemimpin substansial yang benar-benar mengerti dan memahami apa yang terjadi dan apa yang dibutuhkan bangsa ini. Kenangan itu bukan hanya untuk nostalgia belaka tetapi harus diwujudkan kembali. Negara dengan penduduk sekitar 250 juta jiwa ini tidak bisa lagi inferior.

Ramalan Jayabaya

Jayabaya adalah seorang raja Kediri yang memerintah sekitar tahun 1135-1157. Ia terkenal dengan ramalannya yang bernama Jangka Jayabaya. Salah satu ramalannya yang terkait dengan pemimpin Indonesia terdapat dalam Ramalan Satrio Piningit Ronggowarsito. Di dalam ramalan tersebut dipaparkan tujuh Satrio Piningit yang akan muncul di kemudian hari untuk memerintah atau memimpin wilayah seluas “bekas” kerajaan Majapahit, yaitu: Satrio Kinunjoro Murwo Kuncoro, Satrio Mukti Wibowo Kesandung Kesampar, Satrio Jinumput Sumela Atur, Satrio Lelono Tapa Ngrame, Satrio Piningit Hamong Tuwuh, Satrio Boyong Pambukaning Gapuro, dan Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu. Banyak kalangan yang kemudian mengaitkan ketujuh Satrio Piningit dengan pemimpin-pemimpin Indonesia.

Satrio Kinunjoro Murwo Kuncoro adalah pemimpin yang akrab dengan penjara (kinunjoro), yang akan membebaskan bangsa ini dari belenggu keterpenjaraan dan kemudian akan menjadi tokoh pemimpin yang sangat tersohor diseluruh jagat (murwo kuncoro). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai Soekarno, Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia. Satrio Mukti Wibowo Kesandung Kesampar adalah pemimpin yang berharta dunia (mukti) juga berwibawa/ditakuti (wibowo), namun akan mengalami suatu keadaan yang selalu dipermasalahkan dan juga selalu dikaitkan dengan segala keburukan atau kesalahan (kesandung kesampar). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai Soeharto, Presiden Kedua Republik Indonesia dan pemimpin Rezim Orde Baru yang ditakuti. Satrio Jinumput Sumela Atur adalah pemimpin yang diangkat (jinumput). Akan tetapi hanya dalam masa jeda atau transisi atau sekedar menyelingi saja (sumela atur).Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai BJ Habibie, Presiden Ketiga Republik Indonesia. Satrio Lelono Tapa Ngrame adalah pemimpin yang suka mengembara atau keliling dunia (lelono) akan tetapi dia juga seseorang yang mempunyai tingkat kejiwaan religius yang cukup tinggi atau rohaniawan (tapa ngrame). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai KH. Abdurrahman Wahid, Presiden Keempat Republik Indonesia. Satrio Piningit Hamong Tuwuh adalah pemimpin yang muncul membawa kharisma keturunan dari moyangnya (hamong tuwuh). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai Megawati Soekarnoputri, Presiden Kelima Republik Indonesia. Satrio Boyong Pambukaning Gapuro adalah pemimpin yang berpindah tempat (boyong atau dari menteri menjadi presiden) dan akan menjadi peletak dasar sebagai pembuka gerbang menuju tercapainya zaman keemasan (pambukaning gapuro).Banyak pihak yang menyakini tafsir dari tokoh yang dimaksud ini adalah Susilo Bambang Yudhoyono.Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu adalah pemimpin yang amat sangat religius sampai-sampai digambarkan bagaikan seorang resi begawan (pinandito) dan akan senantiasa bertindak atas dasar hukum atau petunjuk Tuhan (sinisihan wahyu).

Yang terakhir memang belum dapat diarahkan ke seseorang, terlebih lagi ini hanya merupakan ramalan dimana bukan sesuatu yang pasti terjadi. Tetapi menjadi menarik ketika disaat yang bersamaan terjadi momentum suksesi pemimpin di tahun ini. Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu sendiri melambangkan orang yang memiliki keenam sifat satrio piningit lainnya sehingga orang tersebut digambarkan sebagai seorang yang selalu mendapat petunjuk Tuhan. Tuhan adalah segala sumber kebenaran sehingga orang yang senantiasa mendapat petunjuk Tuhan pasti akan mampu membawa apa yang dipimpinnya menjadi lebih baik. Harapan itu akan selalu ada.

Pemilihan

Mekanisme pencalonan presiden tidak sama dengan jual barang. Bukan disaat kebanyakan orang suka dengan yang blusukan lalu calon-calon lain ikut blusukan. Bukan disaat kebanyakan orang suka dengan yang kerakyatan, yang lain berlomba-lomba makan di kolong jembatan. Presiden dengan produk pencitraan seperti ini bukanlah representasi ideologis partai politik. Presiden terpilih adalah yang dikehendaki orang banyak berdasarkan opini publik. Padahal opini jarang yang benar-benar publik. Biasanya itu merupakan kepentingan segelintir orang yang kemudian disebarluaskan secara sosial sehingga menjelma menjadi publik.

Presiden yang mewakili ideologi tidak bisa diobral untuk dipasangkan dengan  siapa saja asal dapat menarik suara. Dia yang memperjuangkan perekonomian rakyat kecil tidak bisa disandingkan dengan budak korporat asing. Dia yang mengusahakan kedaulatan pangan tidak bisa disandingkan dengan yang suka impor beras. Suara diperoleh berdasarkan keteguhan dan konsistensi menjalankan ideologinya, bukan dengan memoles yang kapitalis menjadi layaknya pahlawan rakyat kecil.

Pemilihan presiden sudah semakin dekat. Beberapa partai sudah mulai mendeklarasikan prajuritnya dalam perang berbungkus pemilu. Kita memilih pemimpin, tidak bisa asal. Kita memilih bukan karena repetisi iklan di stasiun-stasiun televisi swasta. kita memilih bukan yang merupakan produk polesan bernama pencitraan tanpa common sense terhadap bangsanya sendiri. Kita memilih dia yang blusukan ideologis, bukan blusukan aksesoris.

Sumber referensi:

§Adian, Donny Gahral, 2014, Presiden dan Misteri Representasi, [online], (http://www.nasional.kompas.com/read/2014/03/24/0747143/Presiden.dan.Misteri.Representasi, diakses tanggal 25 Maret 2014)

§Ginting, Daud, 2014, Jokowi Antara Kepemimpinan Empatik vs Artifisial Mengungguli Trend Survei, [online], (http://www.kompasiana.com/post/read/587345/2, diakses tanggal 19 April 2014)

§Nurahmad, ___, 02 Menyibak Tabir Misteri Nusantara, [online], (http://www.sabdopalon.wordpress.com/menyibak-tabir-misteri-nusantara, diakses tanggal 10 April 2014)

§___, 2014, Mengakhiri Jebakan Pemimpin Artifisial, [online], (http://www.mediaindonesia.com/editorial/view/72/Mengakhiri-Jebakan-Pemimpin-Artifisial/2014/03/27, diakses tanggal 18 April 2014)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline