Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

[sospol] Bayangan di Balik Asap

1 September 2025   18:22 Diperbarui: 1 September 2025   18:32 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Bayangan di Balik Asap

Api kerusuhan sering dibakar oleh tangan-tangan tak terlihat. Di balik massa yang marah, ada yang sengaja meniupkan amarah. Mereka bukan korban, tapi aktor bayangan. Mereka memanfaatkan keadilan untuk kekacauan. Dan suatu malam, bayangan itu datang bukan dari jalan, tapi dari rumah yang mereka sendiri bakar.

Malam itu, Jakarta dilalap amarah.
Api membakar halte TransJakarta di depan Gedung DPR. Spanduk hangus beterbangan seperti burung mati. Suara teriakan, tembakan gas air mata, dan pecahan kaca menyatu dalam simfoni kekacauan. Aksi damai telah berubah entah sejak kapan, entah oleh siapa. Tapi satu sosok, Joki, tersenyum di tengah kerusuhan.

Ia bukan mahasiswa. Bukan buruh. Ia hanya pria berusia 35 tahun, berkaos oblong, celana pendek, dan wajah yang biasa-biasa saja. Tapi matanya, matanya bersinar liar saat melempar batu ke arah polisi, lalu berteriak, "Serbu kantor dewan! Mereka makan gaji buta!"

Jaki bukan rakyat jelata yang teraniaya. Ia seorang staf ahli dari salah satu anggota dewan, ditugaskan diam-diam untuk "menghangatkan suasana". Gajinya naik tiga kali lipat jika bisa membuat massa keluar dari jalur. "Biarkan mereka rusak sesuatu," bisik atasannya lewat pesan singkat. "Semakin kacau, semakin mudah kita minta anggaran keamanan tambahan."

Maka Jaki pun beraksi. Ia bukan sekadar orator. Ia penyusup ulung. Ia yang membisikkan, "Rumah anggota dewan di Cipete itu mewah banget, loh!" Ia pula yang melempar batu pertama ke jendela kantor dinas. Dan ketika massa menyerbu, ia yang tertawa paling keras.

Tapi malam itu, angin berubah arah.

Api tak hanya membakar fasilitas. Angin membawa asap tebal ke permukiman padat di belakang jalan protokol. Dan di sanalah, di sebuah rumah petak sempit, ibu dan dua anak Jaki sedang menunggu ayah mereka pulang. Mereka tidak tahu ayahnya adalah bagian dari kerusuhan. Mereka hanya tahu: listrik padam, suara tembakan terdengar, dan asap mulai masuk lewat celah pintu.

Api menjilat atap rumah mereka. Tetangga berhamburan. Tapi Jaki masih di jalan, tertawa, mengangkat botol minuman keras hasil jarahan dari toko yang dibobol massa. Ia tidak tahu bahwa rumahnya sendiri (rumah keluarganya) terbakar.

Ketika akhirnya ia pulang, subuh menjelang, yang tersisa hanyalah puing hitam dan bau daging hangus. Polisi menyisir lokasi. Seorang petugas menatap Jaki yang menangis sambil memeluk potongan baju anaknya. "Kamu keluarga korban?" tanya si petugas. Jaki mengangguk, tak sanggup bicara.

Tapi malam berikutnya, sesuatu aneh terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun