Lihat ke Halaman Asli

Alip Yog Kunandar

TERVERIFIKASI

Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Sebelum Berlayar Bersama...

Diperbarui: 6 Februari 2021   11:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi kapal (sumber: ultimate-yacths.com)

Menikah itu, layaknya memutuskan untuk berlayar bersama ke lautan lepas. Hanya berdua. Keluarga, teman, dan handai-taulan yang lain hanya mengantar sampai ke dermaga. Setelah itu, kapal kita yang mengendalikan. Suami menjadi kapten, istri menjadi wakilnya, sesekali bertukar tugas tak apa.

Kemana tujuannya? Ada sebuah pulau mitos bernama Pulau Bahagia. Itulah tujuannya. Dimanakah pulau itu? Tak ada yang bisa menunjukkannya dengan pasti. Tak ada peta, tak ada kompas, tak ada yang bisa menggambarkannya dengan pasti. Kitalah yang menentukan arahnya, utara, selatan, barat, timur terserah, bumi itu bundar, kalaupun salah hanya perlu memutar sambil bersabar.

Jangan berpikir perjalanan kapal itu akan tenang dan menyenangkan layaknya saat meninggalkan pantai dan dermaga. Semakin jauh, ombak semakin tinggi, angin semakin kencang, badai semakin kuat. Jangan patah arang jika ombak, angin, dan badai menerjang. Semakin sering menghadapinya, semakin kita siap dan kuat.

Seiring waktu, kapal itu akan semakin menua. Jika kapalnya adalah kapal kayu, makin banyak kayu yang lapuk. Jika kapalnya dari besi, makin lama makin banyak yang berkarat. Bocor di sana-sini mulai timbul. Layar mulai robek. Mesin mulai sering mogok. Bocor-bocor harus ditambal sebisanya. Layar koyak harus dijahit semampunya. Mesin mogok harus diperbaiki sebisanya. Jika kehabisan bahan bakar atau tak ada angin berhembus, bersiaplah mengayuh dayung bersama.

Bukan saja kapal yang makin menua, tapi bebannya juga akan makin berat. Penumpangnya bisa terus bertambah. Bertambahnya penumpang adalah kebahagiaan yang harus disyukuri, meski tentu menambah beban. Ruang lain dalam kapal harus disiapkan. Perbekalan harus ditambah karena semakin banyak yang bergantung di dalamnya.

Kadang penat melanda. Kadang bosan mendera. Tapi seperti pepatah, 'Sekali layar terkembang, pantang biduk surut kembali.' Jangan pernah berpikir untuk kembali ke dermaga. Jangan berpikir untuk melompat ke kapal lain.

Ingatlah para penumpang baru yang hadir di tengah perjalanan itu. Mereka mungkin menjadi beban. Mereka mungkin menambah kepenatan. Mereka mungkin menimbulkan banyak masalah. Tapi mereka juga adalah sumber kebahagiaan. Mereka adalah sumber semangat. Mereka bisa menjadi perekat.

Tapi mereka juga bukan penumpang abadi. Suatu saat, saat mereka siap, mereka harus diantar ke sebuah dermaga, lalu mereka akan berlayar dengan kapal yang lain. Lalu kapal tua itu terasa sunyi. Lalu kembali berdua, sampai salah satu diantaranya pergi, bukan karena melompat ke kapal lain, tapi karena panggilan Ilahi, untuk berlayar di kehidupan yang lain, dengan harap akan bersama kembali.

Karena itu, pernikahan bukanlah menaiki kapal pesiar mewah. Satu-dua hari bersenang-senang, lalu kembali. Tak ada yang melayani. Tak ada yang menyediakan segala kebutuhan. Tak ada yang memberi penghiburan. Kita berdualah yang saling melayani. Kita berdualah yang saling mencukupi kebutuhan. Kita berdualah yang saling menghibur. Kita berdualah yang menghadapi ombak. Kita berdualah yang memperbaiki kerusakan.

Jadi sebelum memutuskan berlayar bedua dalam kapal pernikahan, pikirkan baik-baik, renungkan dalam-dalam, persiapkan matang-matang.

Belajarlah dari kapal orang tua kita masing-masing. Lihat bagaimana ayah menghadang ombak. Lihatlah bagaimana ibu menambal bocor atau mengeluarkan air yang masuk. Lihatlah mereka berdua saat menghadapi badai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline