Mohon tunggu...
Edy Suhardono
Edy Suhardono Mohon Tunggu... Social Psychologist, Assessor, Researcher

Direktur IISA Assessment Consultancy and Research Centre, Surabaya. Tiga buku terakhir nya: (1) 'Membaca Identitas, Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas: Suatu Tinjauan Filsafat dan Psikologi' (Gramedia Pustaka Utama, 2023); (2) 'Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasi di Era Transformasi Sosio-Digital' (Zifatama Jawara, 2025), dan (3) 'Kecerdasan Jamak, Keberagaman dan Inklusivitasnya' (Zifatama Jawara: 2025).

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kita Jarang Mengingat: Kita Sedang Dibentuk untuk Menjadi Pelupa

11 Oktober 2025   06:12 Diperbarui: 8 Oktober 2025   23:32 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lupa Bahwa Pelupa (Sumber: Koleksi Edy Suhardono)

Lupa adalah proses yang tak terasa. Kita jarang mengingat bahwa kita pelupa, karena lupa itu sendiri tidak meninggalkan jejak yang mudah dikenali. Ironisnya, kegelisahan kita atas lubang-lubang dalam ingatan ini sering kali kita respons dengan melihat ke dalam diri, mencari kesalahan pada biologi atau gaya hidup kita.

Namun, bagaimana jika saya katakan bahwa pelupaan massal yang kita alami hari ini bukanlah kegagalan personal, melainkan sebuah kondisi yang direkayasa secara sistemik? Bahwa kita tidak sekadar menjadi pelupa, tetapi kita sedang dibuat menjadi pelupa?

Diagnosis Personal, Masalah Sistemik

Narasi dominan membingkai kelupaan sebagai patologi individual. Para ahli dengan sigap menyodorkan katalog penyebab: kurang tidur, pola makan buruk, stres, kecemasan, depresi, hingga efek samping obat-obatan seperti benzodiazepin atau statin.

Penjelasan ini, meski valid secara klinis, secara implisit menempatkan beban tanggung jawab pada individu. Anda lupa karena Anda kurang tidur, Anda cemas, atau Anda salah makan. Solusinya, tentu saja, bersifat autoplastis: perbaiki diri Anda. 

Kecenderungan ini mendorong kita pada medikalisasi kelupaan yang normal. Setiap lubang ingatan dilihat sebagai gejala potensial dari "gangguan kognitif ringan" atau pertanda awal demensia, menciptakan kecemasan kolektif.

Filsuf Michel Foucault, dalam karyanya Power/Knowledge, mengingatkan kita bahwa sistem pengetahuan seperti medis tidak hanya mendeskripsikan realitas, tetapi juga menciptakannya. Dengan mendefinisikan dan mengkategorikan "ingatan yang gagal", sebuah rezim "kebenaran" dibangun.

Rezim ini memaksa kita untuk terus-menerus mengawasi dan mendisiplinkan fungsi kognitif kita sendiri. Kita menjadi subjek yang patuh, yang secara sukarela mencoba "menyembuhkan" diri dari gejala yang sebenarnya disebabkan oleh lingkungan yang tidak sehat. Kita sibuk memperbaiki kebocoran di kapal kita, tanpa menyadari bahwa kita sedang berlayar di tengah badai yang sengaja diciptakan. Perhatian kita dialihkan dari masalah sistemik yang sesungguhnya ke kegagalan personal yang ilusif. 

Arsitektur Amnesia di Era Digital

Paradoksnya, dari sudut pandang biologi evolusioner, lupa adalah sebuah fitur adaptif, bukan bug. Psikolog Daniel L. Schacter dalam kerangka "Tujuh Dosa Ingatan" (The Seven Sins of Memory) berargumen bahwa kegagalan memori seperti transiensi (lupa seiring waktu) atau absent-mindedness (lalai) bukanlah kecacatan, melainkan produk sampingan dari sistem memori yang dirancang untuk efisiensi dan relevansi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun