Suasana Gedung PKK Kabupaten Lombok Tengah siang itu ramai oleh kegiatan Bimbingan Teknis penguatan kapasitas tim pembina posyandu desa. Kegiatan yang diinisiasi oleh DPMD Provinsi NTB ini menghadirkan peserta dari Kepala Desa, Sekretaris Desa, pengurus PKK, serta para Pendamping Desa Kecamatan.
Pagi itu, di sela kegiatan Bimtek tersebut, beberapa kepala desa duduk santai di teras gedung. Kopi hitam mengepul di antara tawa kecil yang perlahan berubah menjadi obrolan serius tentang kehidupan di desa dan beban yang mereka tanggung setiap harinya.
Suasana yang awalnya ringan berubah menjadi cermin sosial ketika salah satu kepala desa bercerita tentang warganya yang setiap hari datang mengadu. “Kadang kita ini bukan cuma kepala desa, tapi tempat curhat seluruh kampung,” ujarnya sambil tersenyum getir menatap langit yang mulai mendung.
Kepala Desa, Jadi Ladang Curhat
Bagi warga di Lombok Tengah, kepala desa bukan sekadar pemimpin administratif, melainkan sosok ayah dan tempat menggantungkan harapan. Dari urusan rumah tangga, suami yang tak menafkahi, istri yang menolak melayani, hingga genteng bocor setiap hujan—semuanya mampir di meja sang kepala desa.
Setiap keluhan membawa beban moral tersendiri. Kepala desa harus mendengar dengan sabar, meski tahu sebagian besar persoalan itu di luar kewenangan pemerintah desa. Namun, menolak berarti berisiko kehilangan kepercayaan warga yang melihatnya sebagai tumpuan terakhir.
Fenomena ini memperlihatkan kuatnya kepercayaan sosial di pedesaan Lombok Tengah. Kepala desa bukan sekadar pejabat, tetapi jembatan harapan yang menautkan hati masyarakat dengan sistem pemerintahan yang sering terasa jauh dan sulit dijangkau oleh warga biasa.
Seorang kepala desa di Kecamatan Praya Barat menceritakan, “Kadang saya habiskan waktu hanya untuk mendengarkan warga yang bertengkar. Tapi kalau tidak saya dengar, mereka kecewa. Jadi saya lebih baik lelah daripada kehilangan kepercayaan mereka.”
Empati sering kali melampaui batas anggaran. Ada kepala desa yang membelikan atap rumah warga, menalangi biaya berobat, hingga memberi bantuan sembako dari kantong pribadi. Mereka melakukannya bukan karena perintah, tetapi karena rasa kemanusiaan yang tumbuh dari kebersamaan.
Jalan Retak, Fasilitas Usang, dan Dana Desa yang Terikat
Keluhan tentang jalan rusak, jembatan yang nyaris ambruk, hingga balai dusun yang tak kunjung diperbaiki menjadi lagu lama di banyak desa Lombok Tengah. Kepala desa sering kali menjadi sasaran pertama kemarahan warga, meski akar masalahnya adalah keterbatasan dana.
Sejak adanya pembagian dana desa ke dalam dua kategori besar—earmark (sudah ditentukan) dan non-earmark—ruang fiskal desa semakin sempit. Sekitar tujuh puluh enam persen dana sudah ditentukan penggunaannya oleh pemerintah pusat, sementara sisanya mengikuti hasil musyawarah desa.