Lihat ke Halaman Asli

Alfred Benediktus

TERVERIFIKASI

Menjangkau Sesama dengan Buku

Mengapa Kekerasan Kini Tak Lagi Malu di Depan Umum?

Diperbarui: 14 Oktober 2025   14:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(olahan GemAIBot, dokpri)

Mengapa Kekerasan Kini Tak Lagi Malu di Depan Umum?  

Sebuah Refleksi atas Krisis Kepercayaan, Moral, dan Martabat Sosial

Di sebuah sore yang seharusnya damai di Jalan Pabringan, Yogyakarta, seorang pedagang bakwan kawi, Z.A. (33), tiba-tiba diserang dari belakang oleh seseorang yang tak dikenalnya. Tanpa provokasi, tanpa peringatan, pelaku menusuknya empat kali di punggung dan dua kali di tangan. Aksi itu terjadi di depan umum, di tengah aktivitas jual-beli yang biasa, di hadapan warga yang hanya bisa terperangah sebelum akhirnya berani menahan si pelaku.

Peristiwa ini bukan hanya soal satu orang yang kehilangan kendali. Ia adalah cermin dari sesuatu yang lebih dalam: kehilangan rasa malu terhadap kekerasan, dan keretakan ikatan moral yang dulu mengikat kita sebagai masyarakat.

Pertanyaannya kini bukan sekadar "siapa pelakunya?", melainkan mengapa kejahatan kini dilakukan dengan begitu terbuka, seolah tak ada rasa takut, tak ada rasa malu, bahkan seolah tak ada lagi yang perlu dihormati?

Ketika Hukum Terasa Jauh, Kekerasan Jadi Bahasa Terakhir

Salah satu akar dari keberanian melakukan kejahatan di depan umum adalah melemahnya kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum. Bukan rahasia lagi bahwa di banyak kasus, hukum sering kali terasa seperti alat yang bisa "dipilih-pilih": keras terhadap yang lemah, lunak terhadap yang berkuasa. Ketika masyarakat menyaksikan pejabat korup hanya dihukum ringan, pelaku kekerasan elite lolos dari jerat, atau kasus-kasus kecil justru diproses dengan kejam, maka muncul keyakinan kolektif: Hukum tidak adil, jadi mengapa aku harus menunggu hukum?

Dalam konteks psikologis, ini menciptakan rasa impunitas kolektif, keyakinan bahwa tindakan kekerasan tidak akan benar-benar dihukum, atau jika dihukum, hukumannya tidak sebanding dengan rasa sakit yang dirasakan. Bagi sebagian orang yang frustrasi, marah, atau mengalami gangguan jiwa, kekerasan menjadi satu-satunya cara untuk "mendapatkan keadilan" versi mereka sendiri. Dan karena mereka tidak percaya pada sistem, mereka tidak takut melakukannya di depan umum bahkan mungkin berharap agar dunia melihat "keadilan" versi mereka.

Namun, ini bukan pembenaran. Ini adalah diagnosis sosial. Karena jika kita hanya menyalahkan pelaku tanpa memahami konteks sosial yang memungkinkan keberanian semacam itu muncul, maka kita hanya akan terus memadamkan api tanpa pernah mematikan sumber apinya.

Krisis Moral: Ketika Martabat Orang Lain Tak Lagi Dianggap Penting

Di sisi lain, ada krisis yang lebih dalam: keruntuhan kesadaran moral kolektif. Dalam masyarakat tradisional, kekerasan di ruang publik dianggap memalukan bukan hanya karena konsekuensi hukumnya, tetapi karena ia melanggar norma kemanusiaan, rasa hormat terhadap martabat orang lain. Nilai seperti tepo seliro (Jawa), silih asih (Sunda), atau hormat-menghormati (Nusantara) dulu menjadi "pengawas tak kasat mata" yang mencegah seseorang bertindak semena-mena.

Namun, dalam masyarakat modern yang semakin individualistik, nilai-nilai itu perlahan terkikis. Kita hidup di era di mana kesuksesan diukur dari pencapaian pribadi, bukan dari kontribusi sosial. Di mana emosi dianggap hak mutlak, tanpa pertimbangan dampak pada orang lain. Di mana orang asing dianggap ancaman, bukan sesama manusia yang layak dihormati.

Dalam kondisi seperti ini, martabat korban, apalagi jika ia "hanya" seorang pedagang kaki lima, bisa dengan mudah diabaikan. Pelaku tidak melihat Z.A. sebagai manusia yang punya keluarga, harapan, dan rasa sakit. Ia hanya melihat objek. Dan ketika manusia kehilangan kemampuan untuk melihat kemanusiaan dalam diri orang lain, kekerasan menjadi mudah bahkan di siang bolong, di depan anak-anak, di tengah keramaian.

Jalan Pulang: Memulihkan Rasa Malu, Kepercayaan, dan Martabat

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline