Belajar dari Kasus SMA 1 Cimarga
Kisah anak merokok yang membuat naik pita mini sebenarnya pastinya dialami semua guru dan kepala sekolah. Suatu hari sepulang mengajar, di dalam angkot yang tidak terlalu penuh, hanya ada anak-anak SMP kelas IX, kalau tidak salah ada lima atau enam anak, cowok, semua merokok. Anak SMP, ada yang merokok tembakau, ada yang vape, ada satu anak dua tangan terselip dua batang rokok, kanan kiri.
Melihat tampang mereka, maaf, hanya satu yang memiliki muka sehat, lainnya, kurus, dan lingkar kepala sangat kecil, mata juga terlihat tidak sehat, asumsi juga mengenai kecerdasan keknya di bawah standar. Gedek melihat cara mereka bercengkerama, merokok, dan duduk di dalam angkutan umum. Tapi mau apalagi, itu di luar jam sekolah, meskipun mengenakan seragam.
Biasa saja mengambil rokok dari dalam tasnya. Jadi kepikiran, tidak ada lagi Razia di sekolah dengan adanya rokok, vape mereka biasa banget. Kelihatan di rumah juga sudah biasa, tidak ada lagi sosok yang disegani anak-anak ini.
Wibawa Guru dan Orang Tua
Miris, saat ini terutama guru sudah kehilangan wibawa. Pelaporan polisi, yang akan berujung pada pencopotan jabatan, membuat guru memilih mendiamkan, jarke wae, sak karepe. Terbukti makin banyak anak sudah kelas atas, namun kemampuan sangat jauh di bawah yang seharusnya mereka miliki. Ingat anak SMP banyak yang belum bisa membaca dan menulis dengan baik. Ini fakta, yang tidak percaya silakan kalau ketemu anak sekolah dicek.
Mengapa terjadi? Guru sekarang enggan berurusan dengan dinas, apalagi jika sampai polisi. Ribet, boros, dan bisa-bisa kehilangan pekerjaan. Anak tidak bisa apa-apa yang biar saja, apalagi ada aturan harus naik. Perilaku, tidak lagi menjadi penilaian untuk bisa naik atau tidak. Keberadaan guru sekadar mengajar, bukan lagi mendidik.
UU ngawur yang berlaku membuat keadaan makin susah. Humanisme itu bukan juga membuat anak keras dan besar kepala. Anak difasilitasi dan Merdeka dalam belajar itu benar, namun perilakunya juga harus baik.
Orang tua sekarang juga tidak memiliki wibawa. Mengarahkan anak tidak bisa, apalagi mengatur. Jauh lebih banyak anak yang tidak diasuh di rumah. Nanti, kalau guru atau pihak sekolah mendidiknya, mereka meradang. Padahal mereka ini sebenarnya malu dan merasa  gagal dan mengalihkan itu pada pihak sekolah.
Kekerasan Sebuah Reaksi atau Kebiasaan
Kepala Sekolah SMA 1 Cimarga dicopot oleh pimpinan daerah. Sangat disayangkan, benar ia telah melakukan kesalahan dalam mendidik. Namun, apakah ini kesalahan yang besar, atau kekhilafan semata. Ingat, mana ada sih orang tua yang tidak jengkel atau masih bisa senyum-senyum melihat perilaku murid atau anaknya di luar pemikirannya? Atau adakah orang tua yang belum pernah sekalipun melakukan kekerasan pada anaknya. Pastinya ada orang tua yang memang sangat sabar.
Jika itu perilaku yang terus berulang, atau satu-satunya cara yang bisa guru atau kepsek itu lakukan, dikit-dikit gampar, kaplok, tendang, boleh deh dicopot. Nah, kalau baru sekali, alasannya juga cukup kuat. Kenakalan yang tidak bisa dikatakan wajar, merokok di sekolah.
Guru Harus Sempurna
Melihat perilaku ugal-ugalan banyak pihak saat ini, orang tua murid, anak sekolah, polisi, dinas, pemerintah daerah, kog seoah guru itu robot yang tidak punya emosi atau perasaan. Menghadapi anak luar biasa untuk diatur, hanya disuruh sabar, mengerti, atau memahami, sebagaimana kata wagub Banten.