Hamas mendesak pembebasan tokoh Fatah Marwan Barghouti dalam pertukaran sandera dengan Israel, sebuah langkah yang menunjukkan upaya persatuan melampaui faksionalisme dan menyoroti bahwa perpecahan Palestina dipicu oleh struktur kolonial. Israel menolak keras karena Barghouti, yang dipenjara seumur hidup sejak 2004, adalah simbol persatuan nasional yang sangat populer, antitesis dari kepemimpinan Otoritas Palestina yang kompromistis, dan dikenal menolak perundingan damai yang gagal, serta menyerukan perlawanan sah terhadap pendudukan.Â
Dijuluki "Mandela baru Palestina," Barghouti dianggap sebagai satu-satunya pemimpin otentik yang mampu mempersatukan Hamas dan Fatah, dan pembebasannya bersama dengan pemimpin kunci lain yang juga diminta dikhawatirkan Israel akan memicu "gelombang energi yang tak terlukiskan" dan menjadi pukulan eksistensial bagi kontrol pendudukan .
Namun, di sisi lain pembebasan sandera yang berlangsung di tengah konflik Israel-Palestina membawa sukacita besar bagi keluarga dan masyarakat. Namun di balik kegembiraan tersebut, terdapat dampak psikologis dan fisik yang sangat berat yang dihadapi para sandera, baik dari pihak Israel maupun Palestina.
Para sandera, setelah bertahun-tahun atau berbulan-bulan mengalami penahanan di tengah ketegangan dan kekerasan, menghadapi trauma psikologis yang kompleks. Sandera Israel mengalami kecemasan berat, gangguan tidur, perasaan ketakutan yang mendalam, dan stres pasca-trauma (PTSD). Seperti diceritakan oleh keluarga, anak-anak yang dibebaskan masih terus dihantui mimpi buruk dan ketidakamanan yang membuat mereka sulit tidur dan merasa takut terhadap orang asing.
Sementara itu, warga Palestina, terutama anak-anak dan perempuan di Gaza yang terkena dampak perang dan penahanan, juga menunjukkan gejala kecemasan, depresi, kurang tidur, kemarahan, dan rasa takut yang intens. Banyak keluarga kehilangan anggota, rumah, serta mengalami luka psikologis yang mendalam. Para praktisi kesehatan mental menilai bahwa hampir semua anak di Gaza membutuhkan dukungan psikososial yang intens karena dampak perang yang berlangsung lama.
Kedua pihak menghadapi beban mental yang luar biasa dan butuh waktu panjang serta dukungan psikologis yang berkelanjutan untuk dapat pulih dari trauma mereka.
Perbedaan fisik yang mencolok terlihat pada sandera dari kedua belah pihak. Sandera Israel umumnya dalam kondisi fisik yang lebih baik saat dibebaskan, terlihat sehat dan terawat. Sebaliknya, sandera Palestina sering kali menunjukkan kondisi fisik yang sangat buruk akibat penyiksaan, kelaparan, dan kurangnya perawatan medis selama penahanan. Luka-luka, memar, infeksi kulit, dan penyakit menular menjadi hal yang sering ditemukan pada tahanan Palestina yang dibebaskan.
Kondisi fisik yang memburuk ini membutuhkan perawatan intensif untuk memulihkan kesehatan dan mendukung proses pemulihan mental.
Dengan memahami kondisi yang dialami kedua belah pihak secara seimbang, penting untuk mengutamakan aspek kemanusiaan dalam setiap langkah pemulihan. Dukungan psikologis dan medis yang memadai, bantuan kemanusiaan, serta upaya perdamaian yang berkelanjutan adalah kunci agar korban konflik ini dapat menemukan harapan dan kesempatan hidup yang lebih baik.
Kisah para sandera dan keluarga mereka mengingatkan kita bahwa di tengah konflik berkepanjangan, yang paling menderita adalah manusia yang membutuhkan empati, perhatian, dan dukungan dari dunia.
Dalam menghadapi trauma yang diakibatkan oleh pengalaman menyakitkan seperti penyanderaan dan konflik berkepanjangan, penting bagi setiap individu dan masyarakat untuk memberi ruang bagi proses penyembuhan yang penuh kesabaran dan empati. Trauma bukan sekadar beban pribadi, melainkan juga memperlambat langkah kolektif dalam membangun kedamaian dan masa depan yang lebih baik.