Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Abni

Manusia akan mencapai esensi kemanusiaannya jika sudah mampu mengenal diri melalui sikap kasih sayang

Glorifikasi Kang Dedi Mulyadi (KDM)

Diperbarui: 23 Mei 2025   10:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.google.com/search?q=dedi+mulyadi&oq=dedi+mulyadi&gs_lcrp=EgZjaHJvbWUqEAgAEAAYgwEY4wIYsQMYgAQyEAgAEAAYgwEY4wIYsQMYgAQyDQgBEC4YgwEYsQMYgAQyD

Dalam beberapa pekan terakhir ini bahkan setelah pelantikan dan pasca kegiatan retret kepala daerah di Akademi Militer Magelang, nama Dedi Mulyadi yang sering disebut Kang Dedi Mulyadi (KDM) menyita perhatian publik baik di media elektronik, cetak dan media sosial. Bukan karena dia lulusan terbaik ataupun mendapatkan penghargaan dari kegiatan tersebut, namun karena gaya kepemimpinannya yang merakyat, santun dan sangat aktif dimedia sosial dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahannya sebagai gubernur Jawa Barat. Dia juga adalah mantan Bupati Purwakarta yang kerap tampil menggunakan ikat kepala sebagai ciri khas orang Sunda. Dekat dengan rakyat karena seringkali muncul dalam interaksi yang cukup inklusif mulai dari masyarakat pemulung hingga petani, atau siapapun yang menyandang sebagai masyarakat kecil, maka akan menjadi sasaran interaksinya.

Namun kemudian muncul pertanyaan dalam benak kita, apakah yang sedang kita saksikan saat ini adalah kepemimpinan teladan atau justru kita yang menglorifikasi karakter dan setiap kebijakannya? Mari kita analisis lebih dalam....

Apa itu glorifikasi?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), glorifikasi adalah proses, cara, perbuatan meluhurkan, memuliakan dan sebagainya. Bisa pula bermakna tindakan atau proses memuliakan, meluhurkan, atau menyebarkan kebaikan sesesorang atau sesuatu. Glorifikasi sering sering pula dikaitkan dengan media yang melebih-lebihkan atau menyajikan sosok tertentu dengan segala kebaikannya bagaikan desain iklan. Sementara dalam bahasa Inggris, kata glorification memiliki arti sebagai tindakan yang melebih-lebihkan sesuatu agar terlihat baik, dan luar biasa.

Setelah viral di media sosial dengan segala aksinya yang turun terlibat langsung dalam mengeksekusi setiap kebijakan, banyak netizen yang menjadikannya sebagai figur ideal pemimpin masa depan. Beberapa komentar netizen yang menyebut "inilah sosok yang diharapkan menjadi pemimpin Indonesia di masa yang akan datang". Ada pula yang berkomentar pada salah satu unggahan video "nanti dulu untuk jadi presiden, saya warga Jawa Barat pingin KDM 2 periode dulu untuk benahi Jawa Barat, nanti kalau 2 periode baru kita dukung jadi Presiden". Komentar lain dari @Ch_Sepuluh, "KDM 2 periode dl bangun Jabar sampek bagus, baru naik RI 1...". Dari @ReniOktora-k2q, "Ayo saya pendukung paling depan, sangat mendambakan presiden yang seperti ini".

Pendapat-pendapat seperti ini tentu sangat menyenangkan bagi siapapun yang menginginkan politik bersih dan berpihak kepada rakyat. Namun perlu diingat bahwa setiap glorifikasi yang tidak disertai dengan argumentasi kritis akan menutup ruang evaluasi atas setiap kinerja pemerintahan yang dipimpinnya.

Apa yang dilakukan KDM dalam setiap aksinya memang sangat menyentuh hati nurani kita. Bagaiamana ia menyapa rakyat kecil dengan sentuhan rasa, menyelesaikan persoalan secara langsung di lapangan, bukan di balik meja dan kursi empuk, menjunjung tinggi nilai-nilai lokalitas kususnya Suku Sunda bahkan membawa lokalitas tersebut pada ruang-ruang nasional. Tetapi di zaman digital seperti sekarang ini, setiap tindakan pejabat publik begitu gampang di framing dan dikemas menjadi narasi besar yang menarik perhatian publik. Setiap kamera dan media yang mengikuti lalu memotret dan menyorot setiap kemana ia pergi, seakan mengundang pertanyaan dalam hati kecil kita; apakah ini bentuk sikap tulus atau manajemen pencitraan tingkat tinggi?

Membangun citra yang positif itu baik dan tidak ada salahnya. Semua orang sangat membutuhkannya apatah lagi ia seorang politisi. Namun, membangun glorifikasi tampa batas justru akan melahirkan sikap dan tindakan mengkultuskan tokoh tampa kritik sama sekali. Padahal dalam dunia demokrasi yang sehat lagi ideal, seorang pemimpin sangat membutuhkan kritikan dan pengawasan dari rakyat sebagai control pemerintahan agar tidak jatuh dalam lembah kesesatan. Popularitas memang penting tetapi integritas juga penting dalam pemerintahan, artinya popularitas harus sejalan beriringan dengan integritas seorang pemimpin. Di negeri ini sudah banyak contoh bagaimana popularitas dipelihara dengan baik tetapi menempatkan intergritas pada titik periferal.

Kehadiran KDM dalam kancah perpolitikan tentu sebuah harapan baru bagi rakyat, harus dihargai dan dihormati. Namun sebagai rakyat jangan sampai kita terjerumus dalam glorifikasi sempit, tampa kritikan atau bahkan sampai mengkultuskan. Tentu yang kita inginkan bersama adalah bagaimana keteladanan ditunjukkan secara konsisten, berintegritas, kebijakannya berpihak pada rakyat. Hal itu akan teruji dengan waktu sebab kepemimpinan KDM masih terbilang sangat muda, di bulan Mei 2025 ini pemerintahannya masih berumur tiga bulan tepatnya baru berumur 92 hari sejak dilantiknya pada tanggal 20 Februari 2025.[]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline