Aspirasi mengenai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan demokrasi yang dirampas sering kali muncul sebagai kritik terhadap praktik politik di Indonesia.Â
Persepsi ini menyoroti kekhawatiran publik tentang kinerja DPR yang dianggap kurang mewakili kepentingan rakyat dan adanya indikasi pelemahan prinsip-prinsip demokrasi.Â
Secara ideal, DPR adalah pilar utama dalam sistem demokrasi perwakilan. Fungsinya diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, meliputi:
- Fungsi Legislasi: Membentuk undang-undang bersama pemerintah.
- Fungsi Anggaran: Menyusun dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
- Fungsi Pengawasan: Mengawasi pelaksanaan undang-undang, kebijakan pemerintah, dan APBN.
DPR seharusnya menjadi jembatan antara aspirasi rakyat dan kebijakan negara. Namun, saat fungsi-fungsi ini dianggap tidak berjalan optimal, muncul lah anggapan bahwa demokrasi sedang mengalami kemunduran.
Demokrasi yang dirampas telah terjadi dalam beberapa hari terakhir yang merujuk pada kondisi di mana demokrasi, meskipun secara formal ada, tidak berfungsi sebagaimana mestinya.Â
Keputusan politik sering kali dirasa lebih menguntungkan elite atau kelompok tertentu, bukan kepentingan masyarakat luas. Suara rakyat seakan tenggelam dalam lobi-lobi politik.
DPR dianggap kurang efektif dalam mengawasi eksekutif. Beberapa kebijakan kontroversial lolos tanpa pengujian dan kritik yang kuat, sehingga melukai rasa keadilan publik.
Munculnya fenomena kekuasaan yang diwariskan dalam keluarga, yang berpotensi mengurangi meritokrasi dan menutup ruang bagi figur-figur kompeten lainnya untuk berkontribusi.
Proses hukum kadang dianggap tebang pilih, di mana penegakan hukum terasa tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Ini merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Adanya upaya-upaya untuk membatasi kebebasan berekspresi dan berpendapat, termasuk melalui undang-undang yang dianggap represif, mematikan semangat demokrasi deliberatif.