Jalanan gang itu selalu gelap, bahkan di siang hari. Dinding-dindingnya yang kusam dan dipenuhi coretan grafiti seolah menelan setiap tetes cahaya matahari. Di sanalah, di antara tumpukan sampah dan bau apek yang menyengat, Reno menemukan sebuah jam saku kuno. Ia tak tahu mengapa, tapi ada sesuatu yang memanggilnya pada benda itu. Bentuknya yang sudah usang, dengan ukiran bunga mawar yang hampir pudar, membuatnya penasaran.
Saat Reno membuka penutupnya, alih-alih jarum jam yang berdetak, yang muncul adalah cahaya keperakan yang benderang. Cahaya itu berdenyut pelan, seperti napas kehidupan. Tanpa ragu, Reno memegangnya. Tiba-tiba, ia merasakan sebuah tarikan kuat. Dunia di sekitarnya seolah berputar, dan ketika semuanya kembali normal, ia berada di tempat yang berbeda.
Ia berdiri di sebuah taman yang rindang. Angin sejuk membelai wajahnya, membawa aroma bunga melati. Di sekelilingnya, anak-anak tertawa riang, bermain kejar-kejaran. Di ujung taman, duduk seorang nenek tua di bangku kayu. Wajahnya teduh, matanya menatap langit dengan senyum tipis.
Reno memberanikan diri mendekat. "Permisi, Nek... Saya di mana?" tanyanya ragu.
Nenek itu menoleh. Senyumnya melebar. "Kamu datang, Nak. Sudah lama Nenek menunggumu."
Reno terkejut. "Menunggu saya?"
"Ya. Jam itu... itu bukan sembarang jam. Itu adalah jam kenangan."
Nenek itu menghela napas. "Setiap orang punya kenangan yang ingin mereka lupakan, dan juga kenangan yang ingin mereka simpan selamanya. Jam ini memberimu kesempatan untuk melihat kenangan orang lain."
"Jadi, ini kenangan siapa?"
"Ini kenangan Nenek. Nenek ingin mengenang masa-masa indah ini sebelum akhirnya semuanya hilang." Suara nenek itu terdengar pilu. "Dulu, Nenek adalah seorang guru taman kanak-kanak di sini. Anak-anak itu, mereka adalah murid-murid Nenek. Tapi, waktu terus berjalan. Sekarang, taman ini sudah menjadi gang gelap."
Hati Reno terenyuh. Ia memandang sekeliling, dan tiba-anak-anak di taman mulai memudar, tawa mereka berubah menjadi bisikan yang jauh. Bunga-bunga layu, dan bangku kayu itu mulai lapuk. Taman indah itu kembali menjadi gang gelap yang dikenalnya.
"Jam ini hanya bisa membawamu kembali sekali, Nak. Ke tempat yang paling kamu butuhkan. Ke kenangan yang paling berharga," kata Nenek, suaranya sekarang hanya samar-samar.
Reno kembali ke gang yang suram, jam di tangannya terasa dingin. Ia tahu apa yang harus dilakukannya. Ia memejamkan mata, memegang erat jam itu. Ia membayangkan sebuah kenangan yang selalu ia ingin lupakan: dirinya yang sedang duduk sendirian di depan rumah, menunggu orang tuanya yang tak kunjung pulang.
Cahaya kembali berdenyut, dan Reno menemukan dirinya berada di depan rumahnya yang lama. Di sana, ayahnya sedang membenarkan motor, dan ibunya sedang menyiram bunga. Mereka berdua tertawa, terlihat begitu bahagia.
Reno berjalan mendekat, seolah tak terlihat. Ia hanya ingin melihat mereka sekali lagi. Ia ingin merasakan kehangatan yang dulu ia miliki. Jam itu terasa hangat di tangannya, dan cahaya itu bersinar terang, bukan lagi cahaya yang membawa kenangan orang lain, melainkan cahaya yang memberikan damai di hatinya. Reno akhirnya mengerti, bahwa terkadang, yang kita butuhkan bukanlah melupakan, melainkan menerima dan mengenang dengan ikhlas. Cahaya di ujung gang itu, bukanlah cahaya dari jam kuno, melainkan harapan yang selalu ada di dalam hatinya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI