Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hubungan Guru dan Murid di Era Digital

3 Februari 2020   21:53 Diperbarui: 4 Februari 2020   02:32 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak sekolah di Museum Lambung Mangkurat, Banjar Baru, Kalimantan Selatan. dok.istimewa

Istilah "milenial" telah menjadi disrupsi dalam banyak aspek. Kita menyandingkannya dengan banyak term lain yang dinilai setara, sekelompok dan berkaitan, misalnya digital, modern, kemajuan dan sejenisnya. Tanpa sadar istilah tersebut merasuk dalam lalu membentuk cara pandang kita melihat fenomena mutakhir. 

Ketidakmampuan menyebutkan atau menggunakan term digital, milenial, globalisasi dalam membahas sesuatu maka seorang guru akan dicap "kolonial". Suatu sindiran untuk mengganti istilah kolot, ketinggalan zaman dan sejenisnya.

Menariknya istilah kolonial dalam pengertian ini banyak digunakan oleh kalangan milenial. Pilihan diksi ini jelas mengandung makna peyoratif di belakangnya. Bahkan mungkin kelompok milenial ini sebenarnya sedang atau mungkin sudah bertransformasi menjadi komunitas. 

Suatu komunitas dicirikan oleh kesadaran adanya kesamaan dalam sesuatu, baik kesamaan dalam aspirasi, kesamaan cita-cita, kesamaan cara berfikir dan juga kesamaan bertindak. Apabila kesamaan dalam suatu kelompok diperkuat dengan kesepakatan dan kemudian dipatuhi bersama maka komunitas dapat bertransformasi dan membentuk tatanan bermasyarakat sendiri. Nampaklah kemudian pembeda antar komunitas dalam cara berpakaian, cara berkomunikasi,

Nah, apakah delineasi populasi dan karakteristik ini disadari oleh para guru hari ini?


Hukum Tobler (1930-2018) menyatakan "segala sesuatu terkait dengan segala sesuatu yang lain, tetapi hal-hal yang dekat lebih terkait daripada hal-hal yang jauh". Ungkapan ini yang dikenal sebagai Hukum Geografi Pertama (first law of geography) kemudian melandasi ilmu tata ruang. 

Sebagai guru besar, Tobler berjasa mengembangkan ilmu geografi dengan memanfaatkan dan mendorong kemajuan teknologi komputasi dan analisa spasial. Tulisan ini tidak akan bercerita tentang kedua aspek terakhir ini karena lebih tepat dibahas di depan kelas, alias butuh kening untuk berkerut dahulu (he he he).

Saya ingin menggunakan kerangka atau hukum geografi pertama itu untuk memahami seperti apa sebenarnya hubungan guru-murid di era digital dewasa ini. Bukankah sering kita dengar ungkapan bahwa "gadget dan komputer yang didukung internet berhasil mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat?"

Jangan-jangan murid yang hadir di sekolah justru terasing dengan guru di depannya, guru juga tidak merasa dekat dengan murid di hadapannya. Keduanya mungkin lebih akrab dengan mitra chatting di gawai masing-masing sekalipun berjauhan entah di dan dari belahan dunia mana.

Kita tidak jarang mendengar suatu Long Distance Relation (LDR) yang merusak atau memutus hubungan lain dengan individu yang secara fisik berdekatan sehari-hari. Dalam kasus ini berarti yang jauh jaraknya (long distancse) lebih kuat hubungannya karena bisa memutus hubungan yang dekat. Bagaimana dengan kalimat "jauh di mata dekat di hati?" Apakah Tobler salah merumuskan hukumnya?

Dengan membandingkan cara mengukur jauh dekat yaitu mengambil acuan mata dan hati, nampak acuan yang berbeda memberikan makna yang berbeda. Penggunaan term "jauh-dekat" ternyata memiliki arti berbeda kalau menggunakan mata dan atau hati sebagai acuan mengukurnya. Jelaslah bahwa referensi visual beda dengan referensi psikologis ketika mengukur jarak atau kedekatan. 

Dalam logika, jebakan kesalahan penalaran semacam ini disebut "term ekuivok" yaitu salah menyimpulkan sesuatu  karena term yang digunakan memiliki banyak arti. Kata "apel" bisa bermakna buah bisa juga berbaris adalah salah satu contohnya.

Kembali kepada hubungan guru-murid atau meluas sedikit ke kontek proses belajar mengajar dalam kelas. Sangat sedikit kita menemukan murid yang mengidolakan gurunya sampai ke level sebagaimana dia mengidolakan artis atau atlit. Aneh rasanya kalau ada seorang anak berlari-lari masuk kelas karena gurunya akan masuk mengajar, larinya sang anak lebih karena takut dihukum atau tidak diperbolehkan masuk.

Ya, larinya si anak lebih karena didorong oleh rasa cemas, khawatir atau takut dan bukan karena ditarik oleh gairah, antusias dan kegembiraan. Buktinya apa? Bandingkan respon murid saat mendengar bel masuk dan ketika bel istirahat atau pulang berbunyi. Kalau bel masuk disambut dengan mimik datar, maka bel keluar atau istirahat akan disambut dengan sukacita dan rasa lega. 

Rasa lega anak yang keluar dari "kedekatan dengan guru" dalam kelas, menuju "kedekatan lain" di luar kelas. Kedekatan lain di luar kelas bisa jadi adalah keakraban berbincang dengan sebaya di kantin sekolah, keseruan main basket bersama anak komplek sebelah di lapangan dekat rumah.

Kedekatan anak atau murid dengan sebaya ditentukan oleh kesamaan minat dan tidak dibatasi oleh tembok sekolah. Bahwa dia akrab dengan teman sekelas dibanding dengan anak sekolah lain hanya bisa terjadi kalau mereka memiliki suatu kesamaan. 

Pada contoh ini maka Hukum Tobler mendapat penguatan. Keterkaitannya adalah pada kesamaan minat atau hoby, atau kesamaan beban tugas belajar. Semakin dekat jarak maka semakin kuat keterkaitannya.

Apakah keterkaitan semacam itu diperoleh dari gurunya? Apakah keterkaitan yang ada tumbuh secara alami dan dipupuk secara sadar atau keterkaitan yang terpaksa? Bel sekolah adalah salah satu cara untuk mengujinya. Lebih ceria mendengar bel masuk atau bel pulang?

Saya merasa bahwa hubungan atau keterkaitan antara guru dan murid lah yang sebenarnya perlu dibenahi terlebih dahulu sebelum proses belajar mengajar menurut Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), atau apalah nama dokumennya, dilaksanakan sesuai standar baku dan formal. Tanpa perasaan kedekatan, keakraban dan keterkaitan maka kebersamaan dalam suatu ruangan fisik tertentu adalah kedekatan geometris belaka, bukan kedekatan secara prikologis.

Dalam kajian perkotaan, salah satu cara untuk mengetahui kedekatan seorang warga dengan tempat dimana dia tinggal atau sebuah kota adalah pada kemampuannya menerangkan setiap seluk-beluk kotanya. Dia akan menunjukkan di mana cafe yang asyik untuk kongkow, tempat menikmati duren yang murah, atau sekadar tempat cuci mata. Dan seseorang disebut warga kota kalau dia tidak takut akan tersesat di suatu kota, karena dia kenal kotanya, dia tahu jalan-jalannya. Seseorang yang gugup menelusuri jalan menuju toko kelontong pastilah seorang yang asing.

Murid yang gugup mendengar bel masuk sekolah adalah murid yang asing dalam proses belajar dalam kelas. Guru yang tidak mengetahui sifat dan karakter setiap muridnya adalah guru yang tidak akrab dengan lingkungannya. Keterkaitan apa yang bisa diharapkan dalam hubungan antara murid yang gugup dan guru yang cuek? Sia-sia sekolah membendung atau mengontrol murid untuk tidak mengakses konten negatif melalui gawai masing-masing. Sekolah dan guru sendiri tidak menawarkan konten alternatif yang menarik. Konten menarik ternyata ada di luar tembok kelas atau sekolah.

Ternyata guru dan murid lebih sering sedang berada dalam ruang yang berbeda pada waktu yang bersamaan. Kedekatan yang terjadi hanyalah karena dipaksakan oleh waktu alias pemenuhan jadwal. Dengan anaogi konsep keruangan di atas maka dikotomi kolonial -- milenial dalam hubungan guru-murid di jaman digital ini dapat lebih difahami. 

Memahami kontek keruangan akan membantu terciptanya suasana belajar yang menyenangkan. Alih-alih berteriak menggerutu dan marah karena murid jaman now sudah tidak hormat lagi kepada guru produk jaman old, maka akan lebih baik kalau para guru bertanya kepada diri sendiri, mau dibawa kemana hubungan ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun