Mohon tunggu...
amelia syara
amelia syara Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya menyukai aktivitas menulis, khususnya tentang teknologi, digitalisasi, dan media. Bagi saya, menulis adalah cara untuk memahami perubahan zaman sekaligus membagikannya kepada orang lain dengan cara yang mudah dipahami.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Alasan Dibalik Cancel Culture yang lebih Kejam di Korea Selatan Dibanding di Indonesia

21 Mei 2025   07:48 Diperbarui: 21 Mei 2025   07:48 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Cancel Culture/ Freepik)

Fenomena cancel culture semakin menjadi sorotan dalam skala global, termasuk di Korea Selatan dan Indonesia. Menariknya, respons masyarakat terhadap kasus-kasus kontroversial di kedua negara ini menunjukkan perbedaan yang cukup mencolok. Di Korea Selatan, cancel culture dikenal dengan sikap yang ketat serta konsekuensi yang berat terhadap publik figur yang dianggap melanggar norma. Sebaliknya, di Indonesia, budaya ini cenderung lebih selektif dan kontekstual, dengan reaksi masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh latar belakang kasus serta persepsi sosial.

Perbedaan ini mencerminkan pengaruh budaya, nilai-nilai sosial, dan peran media dalam membentuk dinamika cancel culture di masing-masing negara. Untuk memahami fenomena ini secara lebih mendalam, mari kita telusuri bagaimana cancel culture berkembang di Korea Selatan dan Indonesia.

Cancel Culture di Korea Selatan: Ketat dan Konsekuensial

Di Korea Selatan, cancel culture berlaku sangat tegas, terutama dalam industri hiburan. Publik figur yang terlibat dalam kasus perundungan, kekerasan seksual, atau pelanggaran hukum lainnya sering kali langsung menerima sanksi sosial yang berat. Contohnya, aktris Kim Sae-ron mendapat kecaman hebat setelah terlibat dalam kecelakaan lalu lintas akibat mengemudi dalam keadaan mabuk. Kasus lain, yaitu Kim Hyun-joong, yang tersandung tuduhan penganiayaan terhadap mantan kekasihnya pada 2014. Setelah kasus tersebut mencuat, ia memilih mundur dari dunia hiburan dan menjalani kehidupan sederhana sebagai petani di Incheon.

Tekanan dari media sosial dan opini publik yang kuat di Korea Selatan menjadikan publik figur sangat rentan terhadap boikot dan pengucilan sosial. Masyarakat di sana memiliki standar moral yang tinggi terhadap tokoh publik, dan pelanggaran norma sosial hampir tidak mendapat toleransi. Media massa dan platform digital memainkan peran penting dalam menyebarkan informasi dan membentuk opini publik, yang memperkuat efek dari cancel culture itu sendiri.

Cancel Culture di Indonesia: Selektif dan Kontekstual

Berbeda dengan Korea Selatan, cancel culture di Indonesia tidak diterapkan secara merata. Respon masyarakat terhadap skandal yang menimpa publik figur sangat bergantung pada konteks kasus, serta kedekatan emosional atau budaya dengan tokoh yang terlibat.

Contohnya, kasus rumah tangga pasangan selebritas Lesti Kejora dan Rizky Billar. Setelah menikah pada Agustus 2021, mereka terlibat dalam kontroversi serius pada Oktober 2022 ketika Lesti melaporkan suaminya atas dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Meski Billar sempat ditahan, laporan tersebut kemudian dicabut oleh Lesti. Keputusan ini memicu perdebatan publik dan seruan boikot, terutama terhadap Lesti.

Namun, alih-alih kehilangan karier, Lesti justru berhasil bangkit kembali. Ia menerima banyak dukungan dari penggemar dan publik saat tampil dalam konser penyanyi muda Betrand Peto pada akhir 2022. Kariernya terus berlanjut dengan berbagai undangan manggung dan program televisi hingga 2023.

Masyarakat Indonesia cenderung lebih permisif terhadap kesalahan publik figur, bahkan sering kali menerapkan standar ganda. Banyak selebritas yang sempat terjerat kasus mampu kembali ke dunia hiburan setelah waktu tertentu. Walau media sosial tetap berpengaruh dalam membentuk opini, konsekuensi sosial yang dijatuhkan tidak selalu bersifat permanen.

Menghadapi Cancel Culture secara Bijak: Antisipasi dan Pembelajaran

Menghadapi fenomena cancel culture bukan hanya soal menghindari kesalahan, tapi bagaimana kita bisa tumbuh dan belajar dari setiap tantangan sosial ini. Agar tidak terjerat dalam dampak negatif cancel culture, baik individu maupun publik figur harus memahami beberapa kunci penting:

1. Kenali dan Hormati Norma Sosial: Memahami nilai dan aturan yang berlaku di masyarakat adalah langkah awal agar tidak terjebak dalam kontroversi yang merugikan.

2. Tanggung Jawab dan Kesungguhan Memperbaiki Diri: Mengakui kesalahan dengan tulus dan menunjukkan perubahan nyata menjadi jalan utama untuk mendapatkan kembali kepercayaan publik.

3. Bijak Bermedia Sosial: Setiap kata dan tindakan di dunia maya memiliki konsekuensi, oleh karena itu berhati-hatilah agar tidak memicu kesalahpahaman atau konflik.

4. Bangun Ruang untuk Empati dan Dialog: Alih-alih cepat menghakimi, mari ciptakan kesempatan untuk memberi klarifikasi dan komunikasi yang terbuka agar setiap masalah bisa diselesaikan dengan adil dan manusiawi.

Dengan kesadaran, tanggung jawab, dan empati, kita dapat menyikapi cancel culture bukan hanya sebagai alat hukuman, tetapi juga sebagai peluang untuk memperbaiki diri dan membangun masyarakat yang lebih adil serta reflektif.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun