Mohon tunggu...
Alvina Khoiriyah
Alvina Khoiriyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Bermimpi menjadi penulis

life is not easy but it's a simple

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

#1 Berlari

27 Juli 2021   20:22 Diperbarui: 27 Juli 2021   20:33 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
POSTER BY ALVINA KHOIRIYAH

*** noted : ini sebagai obat dari luka lama, bagi yang membaca jangan terlalu diambil hati, jika seandainya kalian mengenal diriku .

Udara pagi yang menyejukkan, memberikan pesan melalui alam. Entah apa yang sedang terfikirkan, akan tetapi hal itu terasa begitu membahagiakan. Inilah kisah cerita yang tak tuntas di kala senja mulai tenggelam.

Ku ingat kala itu, aku mulai berlari, aku mulai takut, ragu, cemas, dan khawatir yang begitu hebat. Aku seperti orang kebingungan. Aku mulai berfikir keras , mencari celah terbuka untuk aku berlari. Keluar. Iya aku mencoba kabur, inilah yang sebenarnya ingin aku katakan.

Semua tindakan pasti didasari atas niat yang sudah terfikirkan dengan kepala dingin. Iya, aku demikian. Ada niat aku berlari semenjak di tingkat 3 dasar. Pemicu awal dari semua tindakanku. Pada umur 10 tahun, umur yang masih kecil, dimana aku sudah merasakan frustasi yang begitu menggejolak. Aku bingung harus berbuat apa dan bagaimana. Aku bercerita dengan manusia siapa dan kemana aku akan menemukannya, guna memahami sesak batin anak SD.

Waktu berselang sudah, hingga aku terus naik ke tingkat atas. Aku memendam keputus asaan yang telah aku lalui. Aku belajar mengubur dan menenggelamkan, karena aku berfikir itu mungkin akan membantu aku terus berjalan. Aku membiasakan diri. Menutup telinga, mendengarkan, dan mengiyakan. Inilah hal yang terus terasakan dan yang menyakitkan.

Aku terlalu polos dan penurut, tapi aku juga selalu bertanya-tanya, akan tetapi aku hanya bertanya mengenai hal yang begitu sepele, dan tak berbobot.

Aku merasa kasihan pada diriku, yang selalu aku ajak berlari sejauh aku mampu. Berlari sendiri tanpa menginginkan ada yang mengikuti, bak seorang penolong yang datang hanya menjadi bahan candaanya. Aku kasihan pada diri ini yang merasa sendiri, membahagiakan, dan mengobati rasa sakit sendirian. Aku kasihan pada diri ini yang selalu menjadi pendiam, menjadi orang yang terasingkan.

Berlari adalah satu-satunya yang selalu diharapkan. Diri ini begitu muak dan tak mampu menghadapinya, walaupun masih sering kali harus menjumpainya dan bertegur sapa. Sampai pada akhirnya hari itu tiba aku benar-benar siap untuk berlari. Aku memulainnya dari tempat yang terdekat, hal ini menjadi percobaaan dan juga latihan. 

Tetapi di tempat ini aku pun melakukan pelarian lagi, rasa cemas khawatir dan tidak memiliki kepercayaan diri yang baik menjadikan diriku mengambil langkah kembali berlari. 

Jujur jika saja aku mampu mengutarakan rasa ketidakmampuan, kelemahan kepercayaan diri, serta rasa gugup yang kualami, mungkin pelarian kedua akan dapat tercegah. 

Sayang seribu sayang, aku belum memiliki rasa kepercayaan, dan menghargai untuk dan dari orang lain. Aku masih bocah yang dewasa dengan lambat. Aku bocah yang sudah merasakan sesak batin yang menurut ku itu tidak wajar harus diterima oleh diriku. Bocah yang impulsive.

Berlari tahap tiga. Aku masih sama. Di akhir hari kelulusan, aku bernat berlari, dan pelarian yang ketiga ini aku berharap akan jauh dari semua yang aku temui di kala itu. 

Aku masih belum ada tempat tujuan, tapi niat ku sudah bulat, aku harus berlari lagi. Tempat ini tidak nyaman ketika senja mulai tenggelam sampai fajar menyingsing. 

Tempat ini hanya mampu memberiku sebuah rutinitas yang hanya aku jalani sekadarnya. Jujur, aku merasa aku tidak menemukan sesuatu yang amat dapat aku ambil dan jaga. 

Dan dari sini aku bimbang, akankah aku mampu mempanjang tempat pelarian ku? Atau aku teguh pada niat awal untuk berlari ?. dan sampai di detik kelulusan ini, aku masih sama. Sama-sama belum menemukan hal yang harus aku percayai.

Pelarianku yang ketiga , berlangsung cukup lancer. Akan tetapi masih ada pihak yang ingin mempertahankan diriku. Mungkin beliau tahu, apa yang begitu aku khawatirkan, dan yang begitu aku takuti. Kekhawatiran dengan masa depan, dan juga harapan yang diinginkan. Alhasil tempat yang ingin aku tuju adalah tempat yang sudah akrab disapa oleh beliau, dan tak mampu untuk menentangnya. Aku bersyukur disaat itu, karena salam perpisahanku penuh rasa suka, cita, dan duka.

Tempat pelarian ketiga ini, seakan menjadi tempat terakhir untuk berlari. Satu -- satunya tempat terfikirkan, dan juga tempat yang menjadi harapan, sekaligus obat. Aku tak mampu mengunggulkan. Aku belum tentu yakin dengan apa yang terfikirkan. Hanya saja disini aku mampu mengubah ketakutan malam menjadi pemandangan yang menyejukkan. Tidak ada kekhawatiran, tetapi proses penyembuhan. Disinilah tempat aku mulai bersyukur, tempat dimana aku mulai menghargai, tempat aku mulai mengenal dengan baik, dan menyayangi dengan sederhana. Tempat ini memberikan kesetaran yang tidak aku temui, menyajikan perbedaan, dan sekaligus persaingan antar ego yang tak benar aku fahami di tempat sebelum aku berlari ke sini.

Tempat dimana menyadarkan akan diriku, arti kerinduan, arti dari pengorbanan, dan kesetiaan. Arti dari memberi, dan di beri. Arti dari kesinambungan. Tempat dimana aku mampu menanggung kecewa dan kesal pada diri ini yang begitu ceroboh.

Inilah kisah dimana aku berlari dan sampai di titik dimana aku mulai memahami. Berlari itu melelahkan, disaat diri kita sudah mampu memahami situasinya. Akan tetapi itu akan menjadi cara pertama untuk dapat keluar dari "lingkaran".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun