Kalau berdasarkan pertimbangan keadilan dan kemanusiaan, seyogianya penuntut umum menuntut seseorang disesuaikan dengan keadilan yang dikandungnya, bukan didasarkan karena undang-undang menyatakan demikian. Padahal, hukum bukan semata aturan yang dilanggarnya tetapi hukum adalah apa yang diputuskan oleh pengadilan dalam kenyataannya. Sebab tadi dikatakan undang-undang hanyalah prediksi tertulis sebagai akibat yang akan diterapkan kepada seseorang (kepastian hukum). Sehingga keadilan atau ketidakadilan bukan dilihat dari rumusan atutannya semata, melainkan dirasakan dari putusan hakim yang sebagian sahamnya berasal dari tuntutan penuntut umum. Maka dari itu, disini kita akan sedikit melihat bahwa dari tuntutan penuntut umum lah adanya keadilan itu.
Dalam pasal 6 kode etik jaksa juga dikatakan bahwa
Kewajiban Jaksa kepada masyarakat:
a. memberikan pelayanan prima dengan menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia; dan
b. menerapkan pola hidup sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Bahwa dalam pelayanannya sebagai penuntut umum jaksa menjunjung tinggi supremasi hukum dengan menerapkan pola hidup sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat yang dalam hal ini adalah keadilan. Yang perlu dijunjung tinggi oleh penuntut umum dalam pelayanannya adalah terwujudnya keadilan yang merupakan isi yang terkandung dalam aturan dan bukan hanya mengamankan bunyi ketentuan undang-undangnya saja. Karena hukum yang dimaksud dalam pasal 1 angka 7 kode etik jaksa adalah "pelembagaan" nilai.Â
Jadi hukum adalah nilai yang dikandungnya bukan rumusan bunyi undang-undang. Sehingga yang harus dipertahankan dalam tuntutan dan sekaligus yang ingin diwujudkan adalah terwujudnya nilai (keadilan) itu bukan kesesuaianya dengan bunyi undang-undang. Oleh karena itu, putusan hakim akan dirasa sangat berkeadilan dimata masyarakat karena ia telah memutuskan seseorang dan mempertemukannya dengan nilai yang pantas ia terima bukan yang harus ia terima berdasarkan bunyi undang-undang.
Kesimpulan
Hukum adalah pengandaian, maka dalam pengandaian kita hanya dituntut untuk mewujudkan yang seharusnya diwujudkan dalam kenyataan bukan yang secara gamblang menerapkan bunyi pengandaian. Keadilan merupakan muatan hukum maka keadilan akan dalam hukum akan terasa dalam kenyataan bukan dalam pengawangan. Oleh karena itu, kenyataan pemberlakuan hujum harus melihat aspek kenyataan dengan kata lain momen kognitif dari keadilan adalah putusan yang didasarkan pada kenyataan mengenai apa yang lanyas diterima pada saat itu.
 Bukan didasarkan pada saat undang-undang itu dibentuk. Dan putusan yang baik adalah putusan yang didasarkan pada tuntutan yang baik. Karena kalau putusan tidak sesuai dengan tuntutan, anggaplah lebih rendah. Maka lanstinya salah satu pihak yang keberatan akan melakukan banding seakan-akan hukum telah dicabik oleh putusan itu. Maka jelas hal itu akan menyebabkan proses mencari keadilan akan tidak efektif dan efisien. Padahal secara kenyataan boleh jadi putusan itu sudah berkeadilan. Jadi dalam hal ini kita harus komitmen untuk menjalankan ketentuan bukan berlagak seakan-akan menerapkannya.
Daftar Pustaka
Hart, Konsep Hukum, Cetakan V, Desember 2011, Penerbit: Nusa Media, Ujung Berung, Bandung, Hal. 12
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Cetakan Kedelapan 2014, Penerbit: PT Citra Aditiya Bakti, Bandung, Hal. 5-6
Mejeissen, Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Penerbit: PT Reflika Aditama, Bandung, Agustus 2018, Hal. 46-48
Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing 2019, Hal. 19
Hart, Op. Cit, Hal. 12
Satjipto, Op. Cit Hal. 35