Di awal interaksi kedua dengan Kompasiana, saya menulis: www.kompasiana.com Tema artikel ini adalah sebuah ajakan untuk berlomba kebajikan alias berbuat baik.
Namun karena berbagai faktor, berbuat baik itu tidak jadi atau kalaupun terjadi ‘tidak sempurna’. Misalnya, di artikel itu, saya memberi contoh: jadi mu’adzin mendayu, jadi khatib kelu, atau jadi imam kikuk.
Apakah karena kita orang ‘Timur’ yang tawadlu’ (rendah hati) sehingga takut pamer (riya’)? Mungkin, kita keliru memaknai tawadlu’ dan imbasnya kita tidak melaksanakan kewajiban individual (‘ain) sebagaimana Hadis: “Jika melihat kemungkaran di depan mata, ubah dengan (1) tangan, (2) bila tak mampu, dengan lidah, dan (3) bila tak mampu juga, dengan hati; ini selemah-lemahnya iman” (HR Muslim dari Abu Said al-Khudri).
Untunglah ada yang telah melaksanakan kewajiban sosial (kifayah) seperti menjadi mu’adzin hebat, khatib hebat, atau imam (shalat) hebat; dan kita perhatikan, mereka butuh pembiasaan alias jam terbang untuk ‘hebat’.
Sementara itu, kejahatan terorganisasi (sindikat atau mafia) seperti ‘wajib’ ada di setiap lini kehidupan kita; dan bukan rahasia lagi di dalamnya bercokol oknum orang baik, sebutlah orang jahat yang nyaru jadi aparat; boleh jadi, aparat itu memang orang baik tapi karena sistemnya tidak baik, karena ada kesempatan, karena ada iming-iming, atau karena ada keluarganya yang diancam orang jahat asli, maka aparat itu jadi orang jahat.
Menurut atsar (jejak) ‘Ali bin Abi Thalib r.a., kejahatan terorganisasi akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisasi. Ini memang sudah menjadi rahasia umum. Seperti zaman (kebaikan) semakin canggih, kejahatan pun semakin canggih. Berarti, usaha menghidupkan (organisasi) kebaikan vis a vis kejahatan itu adalah kerja abadi, selama bumi masih berputar.
Sesungguhnya kembali ke kita, tinggal keberpihakan kita, apakah akan condong kepada ‘bisikan’ malaikat atau sebaliknya ke setan? Mungkin, sebagai makhluk termulia, kita tidak butuh ‘bantuan’ dua makhluk ini.
Yang Hebat
Sandingkan profesi dengan kata ‘hebat’ seperti presiden hebat, guru hebat, pengusaha hebat, dokter hebat, atau penulis hebat. Tentu ada kriteria hebat tersendiri untuk setiap profesi ini.
Khusus penulis hebat seperti filosof Jerman JW von Goethe dan dramawan Inggris William Shakespeare, keduanya penulis-penyair hebat. Puisi Goethe berpengaruh bagi puisi Bapak Spiritual Pakistan Mohamad Iqbal (“Pesan dari Timur”); bahkan Shakespeare rangking ke-36 dari 100 tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah (Michael H. Hart, 1978), ternyata, menurut ‘isu’, keduanya gay.
Yang ingin saya katakan, kriteria ‘hebat’ hendaknya berdasarkan bukti bahwa apa yang ditulis sinkron dengan kehidupan sehari-harinya. Studi biografi tentu didukung data yang sahih-andal. Kalau tidak, disebut penulis hebat itu sekadar pintar bermain kata, tanpa fakta. Ini tentu sangat dibenci Tuhan (QS 61: 3).
Kita begitu takjub dengan drama “Romeo dan Juliet” karya Shakespeare yang menjadi prototipe cinta sejati anak manusia. Tetapi jika benar Shakespeare itu gay bin homo; waduh, kita masygul!