Epictetus adalah seorang filsuf Stoa Yunani. Ia mungkin dilahirkan sebagai budak di Hierapolis, Frigia. Ia tinggal di Roma sampai diasingkan ke Nikopolis di barat laut Yunani. Ia menunjukkan minat yang kuat dalam filsafat, kemudian Ia diizinkan oleh tuannya untuk belajar filsafat Stoikisme dengan bantuan Musonius Rufus, seorang filsuf Stoik terkenal pada masa itu. Setelah mempelajari hal ini, Epictetus menjadi terkenal karena pemikiran dan kebijaksanaannya. Epictetus memiliki seorang murid yang bernama Arrian, yang juga Epictetus percayakan untuk menulis dan menerbitkan ajarannya dalam bukunya Discourses and Enchiridion. Epictetus tidak pernah benar-benar menulis apapun, Arrian lah yang selalu mencatat pelajaran dan diskusi yang disampaikan.Â
Epictetus mengajarkan bahwa takdir yang menentukan peristiwa eksternal dan kita tidak mempunyai kendali akan itu. Ketika kita berusaha mengendalikan hal-hal yang berada diluar kendali kita atau malah mengabaikan hal-hal yang ada dalam kendali kita, hal ini menjadi sebab munculnya penderitaan. Sama halnya dengan kebahagiaan, semua itu bergantung pada cara kita melihat dan menilai situasi. Ia membagi menjadi dua, pertama yaitu hal-hal yang berada dalam kendali kita, seperti pikiran, penilaian, dan tindakan kita sendiri. Sedangkan tubuh, reputasi, kekayaan, lingkungan, dan pendapat orang lain termasuk dalam hal-hal yang berada di luar kendali kita. Kebahagiaan sejati dicapai ketika kita berkonsentrasi pada hal-hal yang dapat kita kontrol dan menerima dengan santai beberapa hal yang tidak dapat kita ubah.Â
"It's not what happens to you, but how you react to it that matters." merupakan salah satu tulisan terkenal Epictetus. Tulisan ini  menjelaskan bahwa tidak akan ada peristiwa eksternal yang memiliki pengaruh kuat untuk menderitakan kita, kecuali jika kita sendiri yang memberikannya kesempatan melalui penilaian negatif. Ajaran Epictetus masih sangat relevan untuk kehidupan saat ini, terutama di tengah banyaknya tekanan, persaingan, dan berbagai ketidakpastian yang kita temui. Ia mengajarkan kita untuk tetap menjaga pikiran yang positif, menghindari reaksi berlebihan terhadap masalah, tetap bersikap tenang, dan menjaga kebebasan batin.
Contoh kasus, seorang karyawan berusaha bekerja keras agar diterima dalam promosi jabatan yang ia impikan, namun ternyata ia tidak diterima. Tanpa stoikisme, ia akan bereaksi kecewa, kesal kepada atasannya, iri, dan hilangnya semangat kerja. Namun jika ia menerapkan ajaran Epictetus, ia akan bereaksi sebaliknya, yaitu berpikir positif dan rasional, meyakini diri dengan mengatakan "Saya tidak bisa mengendalikan keputusan atasan, tetapi saya bisa mengendalikan cara saya bekerja dan memperbaiki diri". Dengan begini, emosi negatif tidak akan menguasai dirinya, justru yang didapatkan adalah menemukan ketenangan dan semangat baru untuk menjadi lebih baik lagi.
Sehingga dapat disimpulkan dari ajaran Epictetus adalah jika ingin merasakan kebahagiaan di hidup kita, mulailah untuk mendisiplinkan pikiran kita terlebih dahulu, jangan mudah terpengaruh oleh hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan. Mulailah belajar menerima kehidupan dengan hati yang lapang dan tetap berpikir positif dalam setiap situasi.
3. Friedrich Nietzsche (1844--1900) -- Konsep "The Will to Power" dan "Ja Sagen"Â
- Pengertian The Will to Power
Konsep utama Nietzsche adalah The Will to Power , Nietzsche menganggap ini bukan sekadar keinginan untuk berkuasa secara fisik atau politik, tetapi dorongan dasar untuk berkembang, mencipta, dan menegaskan eksistensi diri. Menurut Nietzsche, semua makhluk hidup memiliki daya hidup (power), yang mendorong mereka untuk mengatasi kelemahan mereka, melampaui batasan, dan menciptakan makna sendiri di dunia yang tidak memiliki makna mutlak. Oleh karena itu, The Will to Power adalah kekuatan yang meningkatkan kehidupan, yang memfasilitasi kreativitas, keberanian, dan kebebasan manusia.
- "Ja Sagen" -- Menyatakan "Ya" pada KehidupanÂ
Konsep "Ja Sagen" Â adalah konsep hidup yang muncul dari gagasan The Will to Power menurut Nietzsche. Sikap ini mencerminkan keberanian untuk menerima semua aspek hidup, aspek menyenangkan maupun sedih, termasuk kesulitan, kegagalan, tanpa menolaknya atau mencoba membedakan apa yang dianggap baik dan buruk.
Nietzsche menentang cara berpikir yang membagi dunia  ke dalam dua sisi berlawanan, seperti "baik-jahat", "suci-dosa", atau "sorga-neraka". Menurutnya, pembagian seperti ini membatasi manusia dan menjauhkan kita dari pemahaman yang benar tentang kehidupan. Ia memotivasi manusia  untuk menerima kehidupan sebagaimana adanya, menerimanya secara bebas tanpa membuat penghakiman.  "Ja Sagen" adalah keberanian untuk mengatakan "ya" pada semua aspek kehidupan, bukan hanya pada sisi yang menyenangkan.