Mohon tunggu...
Syahrir Alkindi
Syahrir Alkindi Mohon Tunggu... Konsultan - Mencari

Penulis dan konsultan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fantasi Liar Dalam Sepotong Iklan

16 Juni 2018   20:01 Diperbarui: 16 Juni 2018   20:33 650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Identitas selalu menjadi fantasi tiap orang. Banyak orang diluar sana (termasuk kita, barangkali) berjejalan dan memenuhi sudut-sudut jalan demi memenuhi nafsunya akan rekognisi terhadap identitas sosial yang didamba-dambakannya. Membayangkan diri menjadi bagian suatu komunitas adiluhung menjadi fantasi liar yang tak terkendali belakangan ini. efeknya? Bermunculan berbagai iklan dan produk-produk yang meng-konstruksi fantasi-fantasi tersebut menjadi komoditas yang diperjual-belikan.

Ketika sebuah produk hadir sebagai representasi sebuah identitas, maka berbondong-bondonglah orang kesana. Untuk membeli 'prestise' dan sensasi komunal yang mereka anggap eksklusif dan unik. Contohnya, banyak yang menganggap sudah berkontribusi terhadap kemajuan petani lokal dengan membeli produk starbucks yang mempromosikan berbagai sumbangan dan dukungan untuk petani lokal.

Akibatnya, representasi kepedulian terhadap petani lokal seolah-seolah sudah terwakilkan saat kita meminum segelas starbucks dan serta-merta kita sudah membeli identitas masyarakat pecinta produk-produk petani lokal. Lokal yang seperti apa, bagaimana proses bantuannya tak pernah terpikirkan oleh kita, seolah-olah identitas itu melekat seiring produk yang kita konsumsi.

Proses ini dapat dimaknai melalui semiosis. Charles Sanders Peirce mengemukakan ada proses-proses pemaknaan tanda melalui Representamen (hal yang mewakili sesuatu) menuju Objek (ranah kognisi subyek) dan Interpretan (Penafsiran akan sesuatu) proses semiosis ini berlangsung tak terbatas dan tiap-tiap Interpretan dapat menjadi Representamen yang baru.

Peirce berpendapat semiosis adalah pemahaman akan 'sesuatu yang mewakili sesuatu'. Tanda ini pun merupakan konstruksi sosial, inilah yang menyebabkan peralihan komoditas menjadi identitas kerap dilakukan demi akumulasi kapital. Peirce membedakan tanda menjadi tiga dalam kaitannya dengan objek; indeks, ikon dan lambang. Indeks memiliki hubungan kontiguitas atau sebab-akibat. Ikon adalah tiruan dari objek. Lambang berubungan dengan objek melalui konvensi sosial.

'Lambang' inilah yang diperjuangkan oleh tiap-tiap produsen yang mengiklankan produknya, selain menjajakan, produk juga menjanjikan sebuah identitas. Misalnya, iklan produk kecantikan yang merepresentasikan produknya sebagai bagian dari kehidupan glamor dan Jet Set. Gambaran inilah yang hendak disampaikan agar konsumen membeli sebuah produk agar dapat diidentifikasikan sebagai kalangan masyarakat tertentu.

Konvensi terhadap lambang ini dibentuk melalui sugesti yang hadir belakangan, dengan harapan munculnya sebuah kesepakatan dalam masyarakat untuk menerima keunggulan suatu produk tertentu berdasarkan identitas yang dijualnya. Tujuannya sudah jelas, konsumerisme dan transformasi kebiasaan konsumsi konsumen (yang sudah tersegmentasi). Pertanyaannya; apakah pola semacam ini yang kita damba-dambakan demi identitas palsu belaka?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun