Tiga bulan sudah Jovino mengenal gadis itu. Perempuan Jawa blasteran Belitung yang tanpa sengaja singgah ke kotanya. Jovino memejamkan mata. Lelaki itu kembali mengingatnya. Perempuan dengan tawa renyah dan senyum ramah yang selalu menarik setiap hati lelaki yang memandang ke arahnya.
Pagi ini, perempuan asal Indonesia itu sudah kembali ke negaranya. Jovino hanya bisa mematung di depan halaman kondominium tempat Putri, perempuan asal Jawa itu biasa tinggal. Jovino menghela napas. Ia masih belum mengerti apa yang terjadi. Perempuan itu tiba-tiba menghilang dari hidupnya. Hujan mulai turun membasahi jalanan. Lelaki itu bergegas masuk ke dalam mobilnya. Ia ingin berputar-putar dulu di sekitaran Araneta, di tengah kota sibuk Cubao, Metro Manila. Hatinya masih melayang. Menembus jauh ke awan, menerobos hujan dan hembusan angin di ujung jauh langit Filipina. Jovino meninggikan volume radio. Hatinya sedang gundah gulana. Ia berpikir, saat ini musik mungkin bisa menghiburnya. Tapi lelaki itu keliru. Ingatannya terus tertuju pada perempuan itu. Jovino mematikan segera radio, dan menginjak pedal gas segera. Dari kaca mobilnya, ia tahu hujan mengajaknya untuk mulai menangisi nasibnya. Jovino masih sangat muda. Lelaki itu belum lama lulus kuliah dan mulai bekerja di sekitaran Makati City. Ia belum banyak mengerti arti cinta. Cinta baginya seperti gulali yang terus membuatnya tersenyum lebar. Manisnya membuat matahari kadang lupa untuk tenggelam. Manisnya membuat ladang jagung bisa berbuah gandum. Tapi hari ini, lelaki itu seperti terbangun dari tidur siangnya. Satu pesan di ponselnya membuat lelaki itu terperanjat. Perempuan yang ia kenal lembut dan ramah itu tak lagi ada di dekatnya. Perempuan itu mengirim pesan, tepat sesaat sebelum ia masuk pesawat. Jovino tak mengerti apa yang terjadi. Perempuan itu kembali ke negara asalnya. Ia meminta lelaki itu melupakannya. Perempuan itu mengaku tak mungkin kembali menginjakan kaki ke Manila. Jovino kaget. Pemuda itu kalang kabut sibuk mencoba menghubungi. Tapi telepon perempuan itu sudah dimatikan. Sudah tak lagi terkoneksi. Perempuan itu mendadak pergi, dan lelaki itu kini mulai pucat pasi. Jovino tak mengerti. Kenapa perempuan Indonesia yang dikenalnya itu seolah sama dengan perempuan lain di negaranya. Perempuan di negaranya, susah dipegang komitmennya. Kebanyakan remaja di negara itu sudah sama kelakuannya seperti di barat sana. Budaya kebebasan sudah dianut mereka. Hari ini suka sama si A, besok lusa bikin komitmen sama si B atau si C. Tapi perempuan asal Indonesia itu.. Ah, bukankah perempuan sama saja. Mudah berpaling, dan melupakan komitmen. Tidak dimana mana. Kata lelaki itu sembari mendengus kesal. Ia kembali mencoba menghubungi. Tapi Jovino tak mendapatkan jawaban. Perempuan itu mungkin sudah terbang tinggi di atas awan. Jovino Hector Espino. Lelaki dengan hidung mancung dan mata sipit itu kini memutuskan melaju ke arah bandara. Ia masih penasaran. Seingatnya, hubungan mereka sejauh ini baik-baik saja. Tidak ada persoalan. Jovino terus melaju kencang. Hujan turun makin lebat di bawah langit Metro Manila. Jarak dari Cubao ke Manila tidak seberapa jauh. Hanya saja kemacetan Manila juga tak bisa diduga. Jovino mulai kesal sendiri. Lelaki itu terus bermain dengan pikirannya. Dua hari lalu, ia melihat Putri keluar dari supermarket, tak jauh dari kondominiumnya. Tapi perempuan itu tidak sendiri. Seorang lelaki, berperawakan Amerika latin tengah bersamanya. Jovino mulai mengingat lagi kejadian itu. Lelaki itu memang tak pernah mempertanyakan siapa bule yang bersama Putri saat itu. Tapi saat ini hatinya mulai bertanya-tanya. Ia mulai curiga, ada yang tidak beres dengan semua ini. Jalanan ke arah bandara masih padat merayap. Lelaki itu tak bisa berbuat banyak. Setibanya di bandara, Jovino pun tak tahu harus berbuat apa. Ia hanya berjalan bolak balik tanpa arah dan tujuan. Matanya terus mencari sosok Putri diantara ratusan orang yang datang ke bandara Ninoy Aquino. Ia berharap masih ada keajaiban bertemu gadis pujaannya. Tapi langit kian temaram. Hujan masih turun membasahi tanah. Perempuan itu tak kunjung ditemuinya. Lelaki itu hanya bisa mengelus dada. Ia tahu tiada guna mencari gadis itu lagi. Jovino menengadah ke arah langit-langit gedung bandara. Hatinya remuk redam seketika. Ia patah hati. Patah hati pada perempuan Indonesia yang sempat mengisi ruang hatinya. Angin berhembus. Jovino melangkah gontai keluar bandara. Ia ingin segera menuju mobilnya yang terparkir di luar gedung itu. Hatinya masih berantakan tak karuan. Ia tak tahu harus bagaimana lagi. Lelaki itu menutup matanya. Kepalanya mulai terasa pusing. Ia berjalan lunglai sembari menundukan kepalanya yang terasa berat itu. Jovino ingin semua ini cepat berlalu. Tapi Jovino justru kembali tersandung masalah baru. Ia berjalan menabrak seseorang tak jauh dari pintu kaca yang dilewatinya. Lelaki itu tak tahu ada orang lain di depannya. Seorang perempuan, masih meringis kesakitan, tengah membereskan barang bawaannya yang jatuh berserakan. Segera Jovino membantu perempuan itu. Mulutnya tak berhenti mengatakan, sorry po.. I am sorry po. Jovino lantas berbicara tagalog dengan sopan. Tapi perempuan itu hanya bisa mengernyitkan dahi tanda tak mengerti. Jovino lantas tersenyum. Aah.. Indonesia ya, tanya lelaki itu sopan. Perempuan cantik di depannya mengangguk mantap. Jovino lantas berbicara dengan bahasa Indonesia yang ia bisa. Perempuan itu terlihat senang. Mereka lantas terlibat percakapan hangat. Langit Manila mulai terlihat cerah. Jovino tersenyum. Ia mulai lupa dengan hujan rindu yang sempat mendera hatinya beberapa saat lalu. Metro Manila, November 2016
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI