Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (97) Renungan Diri

6 Maret 2021   20:43 Diperbarui: 7 Maret 2021   21:31 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Alip Yog Kunandar

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (96) Orang Turki di Pelabuhan

*****

Soso dibelikan lagi segelas sahlep oleh Jabeer, keponakan Pak Hameed kusir yang mengantarnya bersama si Vaso ke Batumi, lalu malah menjadi 'teman' dan membantunya naik kapal laut gratis dari Batumi ke Poti. Jabeer itulah yang dititipi Pak Hameed untuk menumpang kapalnya. Tak sangka, ia bisa bertemu lagi dengannya di tempat yang lain.

Pada Jabeer, Soso tak menyembunyikan kisah kebersamaannya dengan Tuan Nikoladze hingga ia bisa sampai di Novorossiysk. "Hebat juga kau Koba, punya teman orang hebat seperti itu!" kata Jabeer usai mendengar kisah Soso.

"Saya hanya beruntung, Bang..." Soso merendah. "Senang bisa jumpa Abang lagi di sini...."

Jabeer tertawa. "Aku juga senang bertemu denganmu. Mudah-mudahan saja kita bisa bertemu lagi nanti, di mana saja. Kalau aku sih tak sulit dicari, dimana ada kapal itu, di situ mungkin ada aku. Seperti sekarang ini. Tapi ya, biasa, nggak bisa lama-lama, singgah, istirahat sebentar, nanti tak lama lagi berangkat lagi ke Taganrog, dan seterusnya."

"Apa kabar Pak Hameed dan si Mahmoud?" tanya Soso.

Jabeer menggeleng, "Lama tak jumpa mereka. Terakhir ya itu, waktu mengantarmu.."

Sayangnya, obrolan dengan Jabeer tak bisa berlama-lama. Jabeer dan kawan-kawan harus berangkat lagi. Kapal yang dulu ditumpangi Soso harus meneruskan perjalanannya mengitari Laut Hitam dan Laut Azov. "Sori ya Koba. Bukannya tak mau berlama-lama. Di sini memang kami tak pernah lama. Kalau di Sevastopol dan Trabzon baru kami menginap semalam..."

Soso pun berpisah dengannya. Jabeer kembali ke kapalnya, dan ia kembali ke penginapan.

*****

Tuan Nikoladze dan rombongan belum pulang juga saat Soso tiba di penginapan. Keesokan harinya pun, hingga waktu sarapan, hanya berempat lagi, Soso, Natela, Pak Leta dan Pak Naza, pegawai Balai Kota Poti yang tak diajak serta kemarin.

Lalu menjelang siang, Pak Berat, kusir kereta yang semalam ditemui Soso di dekat pelabuhan menemuinya. Setelah berunding dengan yang lain, akhirnya diputuskan Soso dan Natela akan menyusul Tuan Nikoladze, sementara Pak Leta dan Pak Naza menunggu di penginapan, takutnya mereka tak bertemu. Pak Leta hanya menyarankan, jika Soso dan Natela tak bertemu dengan Tuan Nikoladze, mereka harus segera kembali.

Maka berangkatlah Soso dengan Natela ke Tsemdolina menumpang kereta yang dikusiri Pak Berat Yildrin, orang Turki itu.

Seperti kata Pak Berat, perjalanan ke Tsemdolina itu melalui jalur ramai yang merupakan jalur menuju Krasnodar, sebuah kota yang lebih besar dan lebih ramai. Menurut Pak Berat, untuk sampai ke Krasnodar mereka harus menempuh jalur yang memutar, menuju kr barat dulu, lalu berbelok ke timur laut. Hal itu karena harus mengitari perbukitan yang tak mudah ditembus jika menggunakan kendaraan, kecuali jalan kaki atau naik kuda, barulah bisa mencari jalan pintas. Itupun tak mudah, karena harus melewati daerah hutan.

Jangankan hutan yang di perbukitan itu, sebelum mencapai Tsemdolina pun mereka sudah akan bertemu dengan wilayah hutan yang masih rawan, Tsemesskaya. "Banyak bandit yang mengincar harta para pedagang di situ!" kata Pak Berat. "Kalau siang begini sih mending, karena ramai, patrol polisi pun banyak..."

"Kalau di sini banyaknya pendatang, terus polisi-polisi itu didatangkan dari mana Pak?" tanya Soso.

"Kalau yang tinggi-tinggi pangkatnya ya orang Rusia, tapi kalau yang rendahan, macem-macem, orang Turk pun banyak yang jadi polisi rendahan. Di sini sih asal mau, kau bisa cepat jadi anggota polisi. Tapi pekerjaannya berat, di pelabuhan banyak bandit, di jalanan banyak penyamun..." jawab Pak Berat.

"Kok semalam rasanya aman?" imbuh Soso.

"Karena kamu tak membawa apa-apa, dan kamu masuk di wilayah orang Turki, coba kamu masuk ke wilayah utara pelabuhan, belum tentu. Di situ wilayahnya orang Armenia!" tambah Pak Berat.

"Orang Armenia banyak juga di sini?"

Pak Berat mengangguk, "Maaf ya, bukan meremehkan, tapi banyak diantara mereka yang mengelola usaha penyelundupan berbagai barang, ada hasil curian dari kapal, tadahan dari pabrik-pabrik, hasil membegal barang yang sudah turun atau belum dinaikkan ke kapal, dan sebagainya..." jawabnya. "Kalau mau nyari barang murah, bisa di sana, sepatu, baju, mantel, kain, peralatan logam, senjata. Tapi ya itu, kau beli sekarang, bayar, pulang, bisa-bisa pas di rumah, barangnya sudah tak ada lagi, atau berganti dengan barang yang bukan kamu beli!"

Soso melongo mendengar kisah itu. Ia membayangkan, orang Armenia yang ada di Tiflis yang jumlahnya sangat banyak itu. Tiba-tiba di tempat yang jauh seperti itu, mereka juga bisa sampai dan membuat kelompok sendiri. Padahal, Armenia kan jauh, lebih jauh lagi dari Tiflis, tapi bisa juga mereka sampai ke sini untuk mencari nafkah.

Soso juga teringat dengan kejadian di pabrik sepatu Adelkhanov yang melibatkan Sergei Kustov dan seorang Armenia yang jadi anteknya mencuri sepatu. Orang itu menghilang, sementara pekerja anak seperti si Ogur dan kawan-kawan yang menjadi korban. Peristiwa itu juga menyebabkan demo buruh, dan berujung dengan nasibnya sendiri yang harus menyingkir sementara dari Tiflis, bersembunyi di Poti, dan malah ikut ke Novorossiysk sekarang. Jangan-jangan, sepatu yang dicuri dari pabrik itu juga dibawa ke sini, bukan ke perbatasan Rusia-Otoman-Persia.

Soso penasaran, tapi tak mungkin lah ia pergi untuk menyelidikinya. Percuma.

Tak lama kemudian, kereta kuda melewati sebuah celah yang agak sempit. Di sebelah kiri tebing yang curam, sementara di kanannya hutan lebat. Pak Berat mengatakan kalau mereka sedang melewati daerah Tsemesskaya yang ditakutinya itu. "Kau bayangkan saja kalau lewat di sini malam hari..." katanya. "Jangankan ada begal, tak ada apapun jalannya mengerikan begini kan?"

Soso memahami ketakutan Pak Berat dan kusir-kusir lainnya, apalagi mereka yang mengangkut barang berharga. Tempat itu memang sangat strategis buat para begal, banyak celah untuk menyerang, dan banyak tempat untuk kabur atau bersembunyi. Untunglah, mereka melewatinya siang hari. Selain jalanan terlihat jelas, banyak rombongan kereta lain yang melintas, baik yang searah, maupun yang berlawanan.

 Tak lama mereka melewati sebuah tikungan tajam mengikuti kontur perbukitan. Lalu tiba di sebuah dataran lagi yang lumayan ramai, banyak rumah-rumah dan bangunan lagi. Pak Berat menghentikan keretanya di depan sebuah bangunan rumah besar dan cukup mewah.

"Sudah sampai. Itu rumahnya!" katanya pada Soso.

Soso dan Natela turun dari kereta. Mereka meminta Pak Berat untuk menunggu. Jika Tuan Nikoladze benar ada di sana, tinggal dilihat nanti, apa katanya. Kalau tidak, ya terpaksa mereka harus kembali ke penginapan.

Saat Soso dan Natela berjalan kea rah rumah itu, seorang lelaki berbadan besar mendekati mereka. "Ada perlu apa?" tanyanya dalam bahasa Rusia.

"Saya mencari Tuan Nikoladze dari Poti!" jawab Soso.

"Siapa kalian?"

"Kami pegawainya..." jawab Soso. Pertanyaan itu agak melegakan, karena Soso mengira Tuan Nikoladze pasti ada di situ.

 "Nama!"

"Koba Djugashvili dan Natela Gvazava..."

"Tunggu di sini!" Lelaki itu meninggalkan mereka. Tak lama, ia sudah kembali lagi bersama seorang yang dikenali Soso dan Natela, yaitu seorang pegawai Balai Kota yang kemarin ikut rombongan.

"Kalian kok bisa sampai ke sini?" tanya Pak Vitali, pegawai itu pada Soso dan Natela yang langsung terlihat senang.

"Kami khawatir Pak karena Tuan Nikoladze tak pulang semalam!" jawab Soso.

"Ya, aku paham..." katanya, "Tapi kalian tak semestinya menyusul ke sini. Ini urusan Tuan Nikoladze yang tak perlu kalian tahu! Akupun tak tahu apa-apa, hanya menemani saja!"

"Terus?" Natela ikut bertanya.

"Kembali saja ke penginapan," kata Pak Vitali, "Tunggu saja di sana. Anggap kalian tak pernah menyusul ke sini!"

"Terus Pak Leta dan Naza kalau tanya gimana?" tanya Natela.

"Kasih tahu saja, tapi setelah itu diam," jawab Pak Vitali.

Natela melirik Soso, "Pulang Koba, bukan urusan kita!"

Soso tak berkata apa-apa lagi. Ia menggandeng Natela meninggalkan tempat itu dan kembali ke Pak Berat yang masih menunggunya. Ia dongkol, kecewa, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Ya, itu bukan urusannya. Harusnya ia diam saja, mensyukuri bisa diajak sampai ke situ, dan menikmati 'liburannya' bersama Natela. Tapi tetap saja rasa dongkol di hatinya susah dihilangkan.

*****

"Dua hari lagi, aku seharusnya sudah berada di asrama sekolahku, memulai pelajaran tahun ketigaku. Yaah, meski aku tak terlalu bersemangat seperti dulu, aku tetap tak nyaman membolos..." kata Soso pada Natela, setelah mereka tiba kembali di penginapan.

"Kukira keputusanku ikut ke sini adalah sebuah keputusan yang tepat, aku akan belajar lebih banyak lagi hal yang belum kuketahui," lanjutnya. "Tahunya, hanya ditaruh di penginapan tanpa berbuat apa-apa. Kalau tahu begitu, mungkin aku tak perlu ikut!"

Natela merapatkan pelukannya dari belakang sambil mengelus rambut Soso yang mulai gondrong. "Aku mengerti kekecewaanmu. Tapi tak ada lagi yang bisa kita lakukan sekarang!"

"Iya, aku tahu. Kita harus menunggu sampai mereka kembali, entah apa lagi yang akan kita lakukan, hingga menunggu kepulangan kita ke Poti, dan aku harus segera kembali ke Tiflis. Mungkin seminggu lagi baru aku bisa kembali ke sekolahku!" kata Soso. "Aku terlalu bodoh mengira aku ini orang penting buat Tuan Nikoladze!"

"Hei... kamu memang tidak punya posisi penting sekarang, tapi bukan berarti kamu bodoh. Kalau kamu bodoh, buat apa Tuan Nikoladze mengajak kamu sampai ke sini. Pasti ia berharap sesuatu dari kamu. Hanya saja, mungkin posisimu yang membuatnya tak leluasa, karena mau tak mau memang kamu tetap orang luar, sementara Tuan Nikoladze tetap harus bertindak dengan kapasitasnya!" kata Natela lagi.

Soso diam.

"Kamu tahu Koba. Sejak pertama mengenalmu, dan mulai berbincang denganmu, aku merasa bahwa suatu saat kamu akan menjadi orang yang penting dan hebat, entah sepenting apa dan sehebat apa..." kata Natela lagi.

"Kamu hanya menyenangkan hatiku!" kata Soso.

"Enggak, ini jujur!" tukas Natela, "Aku bisa merasakan bagaimana kamu punya sesuatu yang... apa ya, aku susah menjelaskannya... Mmm seperti ceritamu tentang pertemuan pertamamu dengan Tuan Nikoladze, orang seperti dia saja bisa langsung tertarik padamu dan makin terikat ketika sudah berbincang denganmu. Apalagi aku!"

Soso tertawa kecil, "Karena kamu kesepian kan?"

"Nah itu, bolehlah kalau aku, memang begitu, selain karena aku kesepian dan kamu memang ganteng. Tapi Tuan Nikoladze kan beda. Dia orang besar, laki-laki pula. Coba, bagaimana bisa dia langsung terpikat olehmu?"

Soso merenungi omongan Natela itu. Sebuah penilaian yang belum pernah ia dengar sebelumnya, tapi bisa ia rasakan sendiri. Ya, tanpa ia sadari selama ini, omongan Natela itu benar, bagaimana ia bisa begitu mudah bergaul dengan orang-orang, mempengaruhi mereka, dan sebaliknya, jika ada yang tak suka, benar-benar tak menyukainya sama sekali.

"Apa iya aku punya pesona?" bathinnya.

*****

BERSAMBUNG: (98) Kabar Buruk Saat Pulang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun