Mohon tunggu...
Alief El_Ichwan
Alief El_Ichwan Mohon Tunggu... Administrasi - Jurnalis

mantan wartawanI Penulis LepasI Menulis artikel-cerpen-puisi-perjalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nin dan Pohon Asem

24 April 2017   06:36 Diperbarui: 24 April 2017   17:00 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ketika pulang dari kelurahan, Bapak segera berembuk dengan Ibu. Keputusanya: Nin harus diungsikan dulu. Sedangkan pilihannya, jatuh ke rumah Tante Nik di Jakarta. Lalu diaturlah strategi. Alih-alih Nin diminta untuk menemani cucunya. Sebab cucunya yang lain, Gebi, Fadhil dan Abel, sudah kangen.

***

Inilah yang dinantikan! Pohon asem yang dianggap keramat itu, mau dirubuhkan. Dan nyaris semua warga berkumpul. Mereka berharap-harap cemas. Menanti apa yang bakal terjadi. Tak ketinggalan Bu Beta. Ia mengenakan jean ketat selutut. Sementara kaos You Can See,membuat ia nampak seperti gadis ABG. Bahkan, Bu Beta juga ikut memberi makanan dan minum.  Dia juga menjanjikan upah tambahan pada petugas PU. Sesekali dia memberi petunjuk seperti seorang mandor.

Pelebaran itu, menebas satu satu meter kiri-kanan gang. Termasuk halaman rumah kami.  Tak terkecuali halaman mensjid. Dan, hanya Bapak yang tak menyaksikan penebangan itu. Pagi sekali, Bapak tanpa pamit telah ke luar rumah. Entah ke mana. Seisi rumah rumah nampak murung. Tak terkecuali: aku.

Bukan kehilangan pohon itu penyebabnya. Aku tak akan lagi bisa mengambil (diam-diam) telur yang disediakan Nin dalam sesaji. Atau mereguk air kopinya. "Kualat nanti," Ibu menjentik telingaku pelan, saat memergoki aku merebus telur yang diambil dari sesaji. Aku cuma nyengir. Toh, Ibu juga tak percaya pada tahayul. Kalaupun membiarkan Nin nyuguh, karena takzim pada mertua. Ada sesuatu yang membuat sedih dan gelisah. Ah, ada satu yang lebih dari itu, tapi entah apa?

Saat petugas PU dengan gergaji mesin menakik pohon asem, aku seperti mendengar rintih kesakitan Nin. Tapi sampai pohon itu tumbang, tak ada kejadiian apapun. Tak ada orang yang kesurupan. Tak ada angin puting beliung yang mendadak bertiup. Nampak ada kekecewaan pada sebagian orang yang menyaksikan. Sedang Bu Beta, dia bersorak kegirangan manaka pohon itu tumbang.

Ternyata kemurungan kami, tak sebatas lenyapnya pohon asem. Pohon yang dianggap keramat. Sebab tak lama: telepon berdering. Mengabarkan: Nin meninggal mendadak.

Kami terhenyak!

***

Catatan: Nin = Nenek, Ngki = kakek

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun