Mohon tunggu...
Alief El_Ichwan
Alief El_Ichwan Mohon Tunggu... Administrasi - Jurnalis

mantan wartawanI Penulis LepasI Menulis artikel-cerpen-puisi-perjalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nin dan Pohon Asem

24 April 2017   06:36 Diperbarui: 24 April 2017   17:00 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tapi Bapak pura-pura tak mendengar. Pura-pura tertidur. Dan pada orang di rumah Bapak berpesan, "Jangan ada yang melarang Nin menyimpan sesaji di bawah pohon asem.

***

Belum terdengar azan subuh, tapi Bu Beta sudah berjalan-jalan di halaman rumahnya. Meski udara cukup dingin, tapi tak menjadi alangan dia berbaju senam. Usianya memang sudah masuk kepala lima, tapi dia apik merawat tubuh. Malahan ada yang bilang, Bu Beta operasi plastik dan sedot lemak. Ditambah ikut senam, siapa yang menyangka ia telah punya lima cucu.

Jika dibanding dengan Nin, jelas jauh. Padahal hanya beda lima atau enam tahun, lebih tua Nin. Tapi Nin memang nyaris tak pernah mengenal kosmetik. Mungkin hanya lipstik. Itu pun jarang sekali.

Sengaja memang Bu Beta begitu sudah di halaman. Sebab dia ingin ketemu Wak Haji Manan. Betul saja, saat berpura-pura melakukan senam, Wak Haji Manan sudah muncul. "Begini lho, Kang Haji. Bagaimana kalau Kang Haji mengusulkan pelebaran gang ini?" Bu Beta langsung mengusulkan sesuatu, setelah basa-basi menyatakan: kebetulan sekali bertemu dengan Wak Haji Manan.

Sebelum Wak Haji Manan menanggapi, Bu Beta melanjutkan, "Sebagai tokoh masyarakat disini yang disegani, pastilah suara Kang haji disetujui sama Pak RW atau tokoh masyarakat yang lain, sehingga Pak Lurah pun, pasti menyetujuinya. Begitu lho."

"Eh, sebenarnya saya juga mau mengusulkan itu. Wah, kok gagasan Zus Beta sama ya?" sambut Wak Haji Manan, sambil bicara matanya nyaris tak berkedip ke arah dada Bu Beta. Ada yang menyembul. Nampak putih kenyal. Tak ayal tanpa terasa Wak Haji Manan seperti kehausan.

"Wah, ini serba kebetulan. Ide ini memang layak untuk diusulkan dan dilaksanakan. Masalahnya coba saja lihat: jemaah mesjidnya kang Haji kan tambah banyak. Selain itu, kalau ada apa-apa. Misalnya kebakaran. Tapi eh, amit-amiit ya, Kang Haji. Saya tak menginginkan begitu. Lha, tapi kalau ada kejadian itu dibelakang rumah saya. Coba hayo, pasti merembet ke sini."

"Betul sekali," Wak Haji Manan menyambar gagasan itu. "Dan kebetulan Zus Beta, ada proyek pelebaran jalan gang-gang semacam ini. Dan giliranya tiba di RW kita."

"Wah, kalau begiitu, saya bersedia lho mengorbankan sebagian halaman saya buat jalan. Nggak perlu ganti rugi sepeser pun. Silahkan saja," Bu Beta sungguh gembira, sehingga membuat dadanya berguncang-guncang. Dan Wak Haji Monod merasa ada sesuatu yang mendesak sarungnya.

Benar saja. Pelebaran jalan itu, tak terlalu lama dilakukan. Semua warga yang terkena proyek di kumpulkan di kelurahan. Pak Lurah memberi peneran: bahwa ada pelebaran gang-gang. Tentu saja paling antusias, terlihat pada Bu Betan dan Wak Haji Manan. Sedangkan Bapak hanya diam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun