Puisi ini menggambarkan perbedaan cara mengekspresikan cinta, di mana sang suami terlihat cuek tapi mungkin menunjukkan kasih dengan caranya sendiri. Kata "Jakarta" dimasukkan sebagai simbol kesibukan dan keheningan yang menyelimuti hubungan mereka. Selamat membaca.
===========================
Jakarta dan Rindu yang Tak Terucap
Jakarta malam, lampu-lampu redup, Â
Kau duduk sendiri, mata tertuju layar. Â
Aku bertanya, "Sudah makan?"Â Â
Hanya angguk singkat, tak ada cerita. Â
Apakah ini caramu mencinta? Â
Deru kendaraan di luar jendela, Â
Seperti sunyi yang selalu menghampiri. Â
Tak ada pelukan, tak ada tanya, Â
Hanya dingin yang kau bawa pulang. Â
Mungkinkah ini bahasa kasihmu? Â
Aku simpan rindu di antara buku, Â
Berharap kau baca suatu hari nanti. Â
Tapi matamu selalu pada layar, Â
Seperti Jakarta yang sibuk sendiri. Â
Di mana bahasamu yang dulu? Â
Mungkin cintamu seperti Monas, Â
Kokoh tapi diam, tak banyak bicara. Â
Atau seperti sungai Ciliwung, Â
Mengalir dalam, tapi tak terlihat. Â
Aku masih belajar memahamimu. Â
Pernah kau belikan kopi panas, Â
Tanpa kata, hanya letakkan di meja. Â
Aku tersenyum, kau tak melihat, Â
Tapi Jakarta pagi itu terasa hangat. Â
Mungkinkah ini caramu berkata? Â
Jakarta dan cinta kita sama, Â
Penuh kesibukan, kadang tak terduga. Â
Aku tak menuntut bunga atau puisi, Â
Hanya satu tatapan yang berarti. Â
Barangkali, itu sudah cukup.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI