Karya Tulus: Ilmiah dan Populer
Oleh: Ali Akbar Harahap, S.Kom, M.Sos
Sebuah karya lahir dari niat dan proses. Namun, kualitas sebuah karya tidak hanya diukur dari bentuk fisik atau jumlah pembaca, melainkan dari ketulusan pengarangnya. Karya yang tulus akan menemukan jalannya, baik dalam ranah ilmiah maupun populer.
Karya ilmiah adalah karya yang dibangun dengan landasan teori, metodologi, dan data yang dapat diverifikasi. Ia lahir dari proses panjang pencarian kebenaran, diskusi akademik, dan pengujian hipotesis. Menurut Creswell (2018), karya ilmiah harus memenuhi prinsip sistematis, objektif, dan rasional.
Sementara itu, karya populer lebih dekat dengan bahasa sehari-hari, ringan, dan mudah dipahami masyarakat luas. Meski sederhana, karya populer yang berkualitas tetap memerlukan riset, ketajaman analisis, dan kepekaan sosial agar tidak jatuh pada kesan dangkal.
Perbedaan karya ilmiah dan populer tidak lantas menciptakan jurang pemisah. Keduanya dapat saling melengkapi. Sebuah karya ilmiah yang disampaikan dengan gaya populer akan lebih mudah diterima publik, sementara karya populer yang bersandar pada riset ilmiah akan lebih kokoh secara intelektual.
Karya tulus menembus batas formalitas. Ketika seorang penulis menulis dengan niat memberi manfaat, maka baik karya ilmiah maupun populer akan menemukan pembacanya. Dalam Islam, amal yang ikhlas karena Allah menjadi kunci keberkahan dan keberlangsungan karya (QS. Al-Bayyinah: 5).
Dalam sejarah, banyak karya besar lahir dari ketulusan. Ibnu Sina menulis Al Qanun fi al Tibb bukan hanya sebagai dokumen medis, tetapi juga sebagai sumbangan tulus untuk peradaban. Begitu pula Ki Hajar Dewantara menulis gagasan pendidikan nasional dengan niat membebaskan bangsanya dari kebodohan.
Di era digital, kebutuhan akan karya tulus semakin besar. Banjir informasi membuat masyarakat sulit membedakan antara konten berkualitas dan sekadar sensasi. Penulis yang tulus, baik di ranah ilmiah maupun populer, akan menghadirkan karya yang mencerahkan, bukan menyesatkan.
Karya tulus juga ditandai dengan keberpihakan pada kebenaran dan kemanusiaan. Ia tidak lahir dari ambisi pribadi semata, melainkan dari kesadaran bahwa tulisan adalah amanah untuk memberi manfaat. Inilah yang membedakan karya abadi dengan sekadar tren sesaat.
Dalam konteks pendidikan, karya tulus penting sebagai teladan. Mahasiswa dan pelajar yang terbiasa menulis dengan niat ikhlas akan melahirkan generasi akademisi sekaligus komunikator publik yang berintegritas. Ketulusan membentuk karakter sekaligus kualitas karya.
Dalam ranah publik, karya populer yang tulus akan lebih mudah menyentuh hati. Misalnya tulisan di media sosial yang tidak hanya mengejar likes atau views, tetapi benar-benar berupaya memberi inspirasi, edukasi, dan pencerahan.
Karya ilmiah yang tulus pun akan menemukan jalannya. Walau mungkin tidak banyak dibaca di awal, ia akan menjadi rujukan akademik di kemudian hari. Sebab, ketulusan penulis tercermin dalam kejujuran metodologi dan ketekunan riset.
Karena itu, karya tulus baik ilmiah maupun populer adalah investasi intelektual sekaligus spiritual. Ia membekas bukan hanya di dunia akademik atau ruang publik, tetapi juga dalam sejarah dan kehidupan masyarakat.
Akhirnya, menulis dengan tulus berarti menulis dengan hati. Ketika hati ikut bicara, maka ilmu dan gagasan yang dituangkan dalam bentuk karya akan lebih bermakna, abadi, dan membawa manfaat. Itulah hakikat dari karya tulus: ilmiah sekaligus populer.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI