Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mewujudkan Pendidikan Berkualitas di Era Digital

21 September 2025   08:15 Diperbarui: 21 September 2025   06:55 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mewujudkan Pendidikan Berkualitas di Era Digital

Pendidikan di abad ke-21 menuntut kita untuk berpikir ulang tentang bagaimana menciptakan lingkungan belajar yang tidak hanya menyampaikan pengetahuan, tetapi juga menumbuhkan karakter, kreativitas, dan kemampuan berpikir kritis. Era digital menghadirkan tantangan sekaligus peluang besar untuk memperluas akses dan memperkaya pengalaman belajar, tetapi di sisi lain, ketimpangan infrastruktur dan ketidakmerataan kesempatan tetap menjadi hambatan utama.

Dalam konteks Indonesia yang beragam, pendidikan bermutu harus mampu menjangkau setiap anak, dari kota besar maupun desa terpencil, sehingga tidak ada yang tertinggal. Keseimbangan antara inovasi teknologi dan pengembangan manusia sebagai makhluk sosial menjadi kunci agar pendidikan mampu mempersiapkan generasi masa depan yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga berwawasan luas dan berintegritas.

Saya mencoba membuat pendekatan ini melalui puisi tiga bait berikut ini. Puisi ini hendak menggambarkan transformasi mendasar dari ruang kelas tradisional menuju ruang belajar yang inklusif dan demokratis, di mana potensi setiap anak dihargai dan dikembangkan secara adil.

Melalui metafora alam dan teknologi, puisi mengingatkan kita bahwa pendidikan bermutu bukan sekadar fasilitas atau kurikulum, melainkan budaya belajar yang menghormati keberagaman, mendorong kreativitas, dan mengedepankan kemanusiaan.

Jika komitmen kolektif dari seluruh elemen bangsa terjalin, maka pendidikan di Indonesia mampu menjadi taman yang subur, tempat mimpi dan harapan anak-anak negeri tumbuh berkembang sebagai bagian dari masa depan bangsa yang berkelanjutan.

Di kelas yang tak lagi berdinding kapur,
Anak-anak bertanya tanpa rasa takut,
Guru bukan raja, tapi teman bicara,
Ide tumbuh liar seperti akar di tanah basah.

Bukan hafalan yang jadi mahkota,
Tapi kemampuan membaca dunia,
Dari layar kecil hingga bumi yang retak,
Mereka belajar menyambung mimpi dengan aksi.

Tidak peduli dari pulau mana kau datang,
Atau siapa ayah bundamu di kampung,
Pintu ilmu terbuka lebar, jika sinyal menyala,
Dan hati negeri ini sungguh peduli pada masa depan.

***

(olahan GemAIBot, dokpri)
(olahan GemAIBot, dokpri)

Melalui bait pertama di atas saya hendak melukiskan transformasi ruang kelas dari model tradisional, yang otoriter dan pasif, menjadi ruang dialog yang hidup. Kalimat "Anak-anak bertanya tanpa rasa takut" menjadi simbol penting: pendidikan bermutu tidak menekan rasa ingin tahu, justru memeliharanya. Guru yang digambarkan bukan sebagai penguasa kelas, melainkan "teman bicara", mencerminkan pergeseran peran dari penyampai informasi menjadi fasilitator pembelajaran. Metafora "ide tumbuh liar seperti akar di tanah basah" menggambarkan betapa kreativitas dan pemikiran kritis butuh lingkungan yang subur dan mendukung untuk berkembang.

Sedangkan pada baik kedua hendak menegaskan bahwa mutu pendidikan kini tidak diukur dari kemampuan menghafal, tetapi dari kapasitas siswa memahami dan merespons dunia nyata. Frasa "membaca dunia" merujuk pada konsep Paulo Freire tentang pendidikan kritis, di mana siswa diajak memahami realitas sosial, ekologis, dan teknologis.

Pendidikan bermutu di era digital harus mampu menghubungkan pengetahuan dengan isu global seperti perubahan iklim ("bumi yang retak") dan ketidaksetaraan. Proses belajar pun bukan lagi soal menelan informasi, tetapi tentang "menyambung mimpi dengan aksi", mengubah aspirasi menjadi solusi konkret melalui proyek, inovasi, atau kewirausahaan.

Lalu pada bait ketiga kita akan menyoroti isu sentral dalam pendidikan Indonesia: kesetaraan akses. Dalam dunia digital, sinyal internet bisa menjadi penghalang utama bagi anak-anak di daerah terpencil. Pernyataan "Pintu ilmu terbuka lebar, jika sinyal menyala" adalah sindiran halus terhadap ketimpangan infrastruktur yang masih menghantui sistem pendidikan kita.

Lebih daripada itu, puisi juga menyampaikan harapan: bahwa pendidikan sejatinya harus inklusif, tidak peduli latar belakang sosial atau geografis. Akhir puisi, "hati negeri ini sungguh peduli pada masa depan", menjadi renungan moral: mutu pendidikan bukan hanya soal kebijakan atau anggaran, tapi soal komitmen kolektif sebagai bangsa.

Secara keseluruhan, puisi ini tidak hanya menggambarkan idealisme pendidikan bermutu, tetapi juga mengungkap realitas yang masih jauh dari sempurna. Puisi menjadi medium yang efektif untuk menyampaikan kritik sekaligus harapan, karena mampu menyentuh emosi sekaligus menggugah pikiran.

Pendidikan bermutu di abad 21, sebagaimana tercermin dalam puisi ini, bukan sekadar soal kurikulum atau fasilitas, melainkan tentang budaya belajar yang demokratis, relevan, dan adil. Ia lahir dari ruang kelas yang memberi ruang bagi suara setiap anak, dari guru yang percaya pada potensi muridnya, dan dari negara yang benar-benar serius menjamin hak belajar bagi seluruh generasi penerusnya. Dan jika semua elemen itu bersatu, maka pendidikan bukan lagi mesin pencetak lulusan, tapi taman tempat mimpi tumbuh dan jiwa berkembang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun