Saya tak lagi menulis: “Mereka jahat!” Tapi saya mulai menulis: “Kita masih punya hati, mari rawat itu.”
Dan puisi-puisi reaktif itu? Saya tak buang. Saya ubah. Saya kembangkan jadi cerpen, jadi opini, jadi refleksi panjang, dengan pendekatan yang lebih manusiawi, lebih personal, lebih menyentuh.
Karena saya sadar: perubahan sosial tak lahir dari kebencian, tapi dari kepedulian yang dalam. Dan kepedulian (seringkali) lahir dari romantika: romantika akan keindahan manusia, romantika akan kegigihan yang tak terlihat, romantika akan cinta yang tetap tumbuh di tanah yang retak.
Belakangan ini jiwa reaktif revolusioner saya bermetamorfosa menjadi tulisan satire atau humor di Kompasiana. Ini hanya salah satu cara saya merawat jiwa revolusioner tetap hidup agar bisa peka pada situasi dan kemanusiaan yang universal.
Puisi sebagai Pijakan: Membaca Realitas Sosial Secara Kritis
Saya tak sendiri dalam keyakinan ini. Banyak ahli sastra, filsuf, dan aktivis yang melihat puisi bukan sekadar ekspresi estetika, tapi alat kritis untuk membaca realitas, merobek kepalsuan, dan membuka mata hati.
A. Teeuw (pakar sastra Indonesia) dalam bukunya “Sastra Baru Indonesia” (1969) menulis:
“Puisi yang otentik selalu memiliki dimensi sosial, bahkan jika tampak personal. Ia adalah cermin yang memantulkan keadaan masyarakat, sekaligus palu yang memecah kebekuan kesadaran. Puisi tidak hanya mencerminkan realitas, ia ikut membentuknya.”
Goenawan Mohamad (penyair dan esais) dalam esainya “Puisi dan Kekuasaan” mengatakan:
“Puisi adalah bahasa yang menolak dipenjara. Ia bicara ketika lidah dibungkam, ia menjerit ketika mulut dikunci. Tapi puisi sejati tidak hanya berteriak, ia juga mengajak kita mendengar. Mendengar derita yang tak bersuara. Mendengar harapan yang disembunyikan. Di situlah letak kekuatannya: ia membuat kita peka, sebelum membuat kita marah.”
Paulo Freire (filsuf pendidikan pembebasan) dalam “Pedagogy of the Oppressed” (1970) menegaskan:
“Kesadaran kritis lahir bukan dari kebencian, tapi dari cinta. Cinta akan keadilan. Cinta akan manusia. Cinta akan kemungkinan dunia yang lebih baik. Puisi, dalam bentuknya yang paling jujur, adalah manifestasi cinta itu, ia tidak menghancurkan penindas, tapi mengajaknya (dan kita semua) untuk menjadi manusia seutuhnya.”