Bagi Dhakidae, romantika dalam tulisan adalah bentuk keberpihakan yang elegan. Bukan kebencian yang kasar, bukan amarah yang liar, tapi cinta yang teguh, yang sabar, yang tak goyah. Ia percaya bahwa tulisan yang paling revolusioner justru lahir dari cinta bukan dari kebencian.
Ia mengkritik tulisan-tulisan reaktif yang hanya meludah amarah tanpa solusi, tanpa visi, tanpa cinta. Menurutnya:
“Amarah tanpa cinta hanya akan melahirkan kekerasan baru. Tapi cinta dengan amarah, cinta yang marah karena melihat ketidakadilan,itulah yang bisa melahirkan perubahan sejati.”
Romantika menurut Dhakidae adalah cinta yang berani marah tapi tak pernah berhenti mencintai. Cinta yang melawan tapi tak pernah membenci. Cinta yang menuntut keadilan, tapi tetap menghargai kemanusiaan lawan.
Penutup: Romantika Sejati: Cinta yang Tak Buta, Tapi Justru Paling Melihat
Maka, ketika saya menulis puisi “romantis” hari ini, saya tak menulis untuk kekasih, tapi untuk kemanusiaan. Saya tak menulis untuk menghibur, tapi untuk menyadarkan. Saya tak menulis untuk kabur, tapi untuk terlibat.
Romantika saya, seperti yang diajarkan Romo Mangun adalah spiritualitas yang turun ke jalan.
Seperti yang diingatkan Kleden adalah kritik terhadap ilusi, yang membuka mata pada struktur.
Seperti yang diyakini Dhakidae adalah etika intelektual yang berpihak, tanpa kehilangan kemanusiaan.
Romantika bukan tentang cinta dua jiwa, tapi tentang cinta satu jiwa: jiwa kemanusiaan yang terluka, yang masih berdetak, yang masih berharap dan yang pantas kita perjuangkan.
“Aku tak menulis puisi cinta untukmu,
tapi untuk perempuan yang bekerja 12 jam sehari
dan masih menyisihkan uang untuk membeli pensil anaknya.
Untuk laki-laki yang dipenjara karena berani bicara,
tapi masih menulis surat untuk ibunya: ‘Aku baik-baik saja.’
Untuk anak-anak yang tidur di kolong jembatan,
tapi masih bermimpi jadi guru, jadi dokter, jadi penyair.
Itu cintaku.
Itu romantikaku.
Itu puisiku.