Dan Judith Butler (filsuf feminis dan teori sosial) dalam wawancaranya tentang seni dan perlawanan, berkata:
“Karya sastra yang radikal bukan yang paling keras, tapi yang paling mampu membuat kita merasakan kerentanan manusia. Ketika kita bisa merasakan penderitaan orang lain, bukan sebagai statistik, tapi sebagai cerita, sebagai napas, sebagai detak jantung, di situlah perlawanan sejati dimulai: dari empati.”
Romantika Bukan Tentang Cinta Dua Jiwa, Tapi Tentang Cinta pada Kemanusiaan yang Terluka
Saya pernah menulis puisi romantis untuk kekasih. Tapi itu tak pernah awet alias bertahan. Hanya dalam 1-5 puisi, lalu bertobat kembali ke jalurnya.
Tapi saya mulai rajin menulis puisi romantis untuk buruh yang tangannya melepuh tapi tetap tersenyum saat gajinya telat.
Untuk anak jalanan yang tidur di emperan toko, tapi masih bermimpi punya sepatu baru.
Untuk ibu-ibu di kampung yang menangis diam-diam saat listrik diputus, tapi tetap masak air untuk tetangga yang lebih miskin.
Itu romantika saya. Romantika kemanusiaan. Romantika yang lahir bukan dari pelukan, tapi dari penderitaan. Bukan dari ciuman, tapi dari ketahanan. Bukan dari janji, tapi dari kesetiaan pada nilai, pada sesama, pada kebenaran yang tak terlihat.
Dan dalam perjalanan ini, saya belajar bahwa romantika semacam ini bukan sekadar gaya sastra, ia adalah sikap hidup, filsafat perlawanan, bahkan bentuk spiritualitas. Ia adalah cara kita mencintai dunia, bukan karena ia sempurna, tapi justru karena ia retak, luka, dan butuh sentuhan.
Romantika sebagai Spiritualitas Perlawanan
Romo Mangun (begitu kami memanggilnya) adalah arsitek, pastor, penulis, dan aktivis yang tak pernah berhenti mencintai manusia, terutama yang terpinggirkan. Ia tak menulis puisi cinta untuk perempuan, tapi untuk rakyat kecil yang diusir dari tanahnya demi “pembangunan”.
Dalam esainya yang tajam, “Manusia dan Pembangunan”, Romo Mangun menulis:
“Pembangunan yang tidak memanusiakan manusia adalah kejahatan. Dan melawannya bukan hanya tugas politik, tapi tugas moral, bahkan tugas rohani. Karena mencintai manusia yang terluka, itulah wujud cinta kepada Tuhan yang paling nyata.”
Bagi Romo Mangun, romantika bukan hiasan. Ia adalah panggilan jiwa. Ia adalah bentuk cinta yang aktif, cinta yang turun ke lumpur, duduk di tanah, mendengarkan jerit yang tak bersuara. Ia menolak romantika semu, romantika yang hanya bicara keindahan tanpa keadilan, yang hanya merayakan cinta tanpa memperjuangkan martabat.
Dalam novel “Burung-Burung Manyar”, ia menulis dengan nada puitis tapi menusuk: