KEKUASAAN KATA [8]:
Jadikan Puisi Sebagai Pijakan: dari Revolusioner ke Empatik, dari Amarah ke Romantika Kemanusiaan
Saya mulai menulis puisi di bangku SMA, awal 1990-an. Saat itu, puisi adalah tempat saya berteriak. Tempat saya melawan. Tempat saya menumpahkan kegeraman terhadap ketidakadilan, penindasan buruh, kebisuan media, dan kepalsuan demokrasi di bawah bayang-bayang Orde Baru yang mulai retak. Pernah pada malam pesta ulang tahun Sekolah dan Asrama tempat kami belajar, dihadiri oleh para pejabat, termasuk bupati. Saya berkesempatan membaca puisi. Isinya lebih kritik sosial terhadap gaya hidup pejabat. Bupatinya tersenyum-senyum tapi sesungguh dalam hati dia menggerutu, ini anak seminari bikin malu saya.
Puisi-puisi saya waktu itu keras. Tajam. Penuh dentuman. Seperti pukulan palu di atas rel kereta yang berkarat. Judul-judulnya saja sudah berteriak: “Aku Seorang Anak Manusia 3”, “Tangan-tangan yang Dipaksa Bungkam”, “Di Bawah Sepatu Bot, Kami Masih Bernapas”. Puisi-puisi menjadi semakin hidup (ditulis ulang dengan lebih metaforis-faktual) tahun 1994-1995 saat saya di Salatiga sering mengunjungi para buruh di beberapa pabrik di Ungaran. Sering ada sharing perasaan dan pendapat tentang kenyataan yang diterima para buruh. Saya juga mulai mendengar isu-isu sosial tentang Kedung Ombo, perjuangan Romo Mangun, dll. Saya menulis dengan amarah, karena saya percaya, amarah adalah bentuk cinta yang terluka.
Tapi ketika kuliah, sesuatu berubah.
Saya menyadari: amarah tanpa empati hanya akan melukai bukan menyembuhkan. Revolusi tanpa romantika hanya akan menghasilkan kebisingan bukan perubahan. Dan puisi (jika hanya jadi senjata) akan kehilangan jiwa kemanusiaannya.
Maka saya mulai menulis hal-hal “romantis”. Bukan romantis dalam arti cinta remaja, bukan pula tentang mawar dan rembulan. Tapi romantika kemanusiaan tentang kelembutan di tengah kekerasan, tentang harapan di tengah keputusasaan, tentang cinta yang tetap tumbuh meski ditanam di tanah yang gersang oleh ketidakadilan.
Saya menulis cerpen tentang seorang buruh perempuan yang menyisihkan upahnya untuk membeli buku dongeng agar anaknya tak tumbuh dengan pikiran bahwa dunia hanya soal kerja dan lapar. Saya menulis cerpen tentang pemulung yang sering ditolak di gerbang-gerbang rumah, bahkan ketika mereka sedang lewat di jalan pun orang sudah menolak.
Saya menulis puisi tentang seorang tukang becak yang menolak bayaran dari mahasiswa aktivis: “Biar aku yang bantu perjuanganmu, Nak. Aku tak bisa pidato, tapi aku bisa mengayuh.”
Saya menulis opini tentang demonstran yang membawa bunga, bukan batu. “Karena kami protes bukan untuk menghancurkan, tapi untuk membangun ulang dengan cinta.”
Pendekatan Reaktif-Revolusioner Menjadi Romantis-Empatik: Transformasi Batin Seorang Penulis
Perubahan ini bukan strategi. Ini transformasi batin. Saya tak berhenti marah. Tapi saya belajar mengalihkan amarah menjadi perhatian. Saya tak berhenti melawan. Tapi saya belajar melawan dengan cara memeluk bukan meninju.
Puisi revolusioner saya dulu bicara tentang “mereka”: para penindas, para penguasa, para algojo sistem.
Puisi romantis-empatik saya bicara tentang “kita”: buruh, mahasiswa, ibu rumah tangga, tukang sayur, guru honorer: yang tetap manusia, meski sistem ingin menjadikan mereka angka.
Saya tak lagi menulis: “Hancurkan!” Tapi saya mulai menulis: “Bangunlah dari dalam.”
Saya tak lagi menulis: “Mereka jahat!” Tapi saya mulai menulis: “Kita masih punya hati, mari rawat itu.”
Dan puisi-puisi reaktif itu? Saya tak buang. Saya ubah. Saya kembangkan jadi cerpen, jadi opini, jadi refleksi panjang, dengan pendekatan yang lebih manusiawi, lebih personal, lebih menyentuh.
Karena saya sadar: perubahan sosial tak lahir dari kebencian, tapi dari kepedulian yang dalam. Dan kepedulian (seringkali) lahir dari romantika: romantika akan keindahan manusia, romantika akan kegigihan yang tak terlihat, romantika akan cinta yang tetap tumbuh di tanah yang retak.
Belakangan ini jiwa reaktif revolusioner saya bermetamorfosa menjadi tulisan satire atau humor di Kompasiana. Ini hanya salah satu cara saya merawat jiwa revolusioner tetap hidup agar bisa peka pada situasi dan kemanusiaan yang universal.
Puisi sebagai Pijakan: Membaca Realitas Sosial Secara Kritis
Saya tak sendiri dalam keyakinan ini. Banyak ahli sastra, filsuf, dan aktivis yang melihat puisi bukan sekadar ekspresi estetika, tapi alat kritis untuk membaca realitas, merobek kepalsuan, dan membuka mata hati.
A. Teeuw (pakar sastra Indonesia) dalam bukunya “Sastra Baru Indonesia” (1969) menulis:
“Puisi yang otentik selalu memiliki dimensi sosial, bahkan jika tampak personal. Ia adalah cermin yang memantulkan keadaan masyarakat, sekaligus palu yang memecah kebekuan kesadaran. Puisi tidak hanya mencerminkan realitas, ia ikut membentuknya.”
Goenawan Mohamad (penyair dan esais) dalam esainya “Puisi dan Kekuasaan” mengatakan:
“Puisi adalah bahasa yang menolak dipenjara. Ia bicara ketika lidah dibungkam, ia menjerit ketika mulut dikunci. Tapi puisi sejati tidak hanya berteriak, ia juga mengajak kita mendengar. Mendengar derita yang tak bersuara. Mendengar harapan yang disembunyikan. Di situlah letak kekuatannya: ia membuat kita peka, sebelum membuat kita marah.”
Paulo Freire (filsuf pendidikan pembebasan) dalam “Pedagogy of the Oppressed” (1970) menegaskan:
“Kesadaran kritis lahir bukan dari kebencian, tapi dari cinta. Cinta akan keadilan. Cinta akan manusia. Cinta akan kemungkinan dunia yang lebih baik. Puisi, dalam bentuknya yang paling jujur, adalah manifestasi cinta itu, ia tidak menghancurkan penindas, tapi mengajaknya (dan kita semua) untuk menjadi manusia seutuhnya.”
Dan Judith Butler (filsuf feminis dan teori sosial) dalam wawancaranya tentang seni dan perlawanan, berkata:
“Karya sastra yang radikal bukan yang paling keras, tapi yang paling mampu membuat kita merasakan kerentanan manusia. Ketika kita bisa merasakan penderitaan orang lain, bukan sebagai statistik, tapi sebagai cerita, sebagai napas, sebagai detak jantung, di situlah perlawanan sejati dimulai: dari empati.”
Romantika Bukan Tentang Cinta Dua Jiwa, Tapi Tentang Cinta pada Kemanusiaan yang Terluka
Saya pernah menulis puisi romantis untuk kekasih. Tapi itu tak pernah awet alias bertahan. Hanya dalam 1-5 puisi, lalu bertobat kembali ke jalurnya.
Tapi saya mulai rajin menulis puisi romantis untuk buruh yang tangannya melepuh tapi tetap tersenyum saat gajinya telat.
Untuk anak jalanan yang tidur di emperan toko, tapi masih bermimpi punya sepatu baru.
Untuk ibu-ibu di kampung yang menangis diam-diam saat listrik diputus, tapi tetap masak air untuk tetangga yang lebih miskin.
Itu romantika saya. Romantika kemanusiaan. Romantika yang lahir bukan dari pelukan, tapi dari penderitaan. Bukan dari ciuman, tapi dari ketahanan. Bukan dari janji, tapi dari kesetiaan pada nilai, pada sesama, pada kebenaran yang tak terlihat.
Dan dalam perjalanan ini, saya belajar bahwa romantika semacam ini bukan sekadar gaya sastra, ia adalah sikap hidup, filsafat perlawanan, bahkan bentuk spiritualitas. Ia adalah cara kita mencintai dunia, bukan karena ia sempurna, tapi justru karena ia retak, luka, dan butuh sentuhan.
Romantika sebagai Spiritualitas Perlawanan
Romo Mangun (begitu kami memanggilnya) adalah arsitek, pastor, penulis, dan aktivis yang tak pernah berhenti mencintai manusia, terutama yang terpinggirkan. Ia tak menulis puisi cinta untuk perempuan, tapi untuk rakyat kecil yang diusir dari tanahnya demi “pembangunan”.
Dalam esainya yang tajam, “Manusia dan Pembangunan”, Romo Mangun menulis:
“Pembangunan yang tidak memanusiakan manusia adalah kejahatan. Dan melawannya bukan hanya tugas politik, tapi tugas moral, bahkan tugas rohani. Karena mencintai manusia yang terluka, itulah wujud cinta kepada Tuhan yang paling nyata.”
Bagi Romo Mangun, romantika bukan hiasan. Ia adalah panggilan jiwa. Ia adalah bentuk cinta yang aktif, cinta yang turun ke lumpur, duduk di tanah, mendengarkan jerit yang tak bersuara. Ia menolak romantika semu, romantika yang hanya bicara keindahan tanpa keadilan, yang hanya merayakan cinta tanpa memperjuangkan martabat.
Dalam novel “Burung-Burung Manyar”, ia menulis dengan nada puitis tapi menusuk:
“Cinta bukan kata-kata manis di bibir. Cinta adalah tangan yang kotor karena bekerja untuk orang lain. Cinta adalah kaki yang lecet karena berjalan jauh demi kebenaran. Cinta adalah hati yang tetap hangat meski dunia membeku.”
Itu romantika Mangunwijaya: romantika yang berpijak di lumpur, tapi menatap langit. Romantika yang tak takut kotor, karena ia tahu, di sanalah cinta sejati ditemukan.
Romantika sebagai Kritik terhadap Ilusi Modernitas
Ignas Kleden (sosiolog dan kritikus budaya) mengingatkan kita: jangan tertipu oleh romantika palsu. Romantika yang dijual media, yang dikemas industri, yang dipamerkan di layar, seringkali hanyalah ilusi. Ilusi cinta, ilusi kebahagiaan, ilusi kemajuan.
Dalam esainya “Sastra Indonesia dan Masalah-Masalah Sosial”, Kleden menulis:
“Banyak sastra kita terjebak dalam romantika borjuis, cinta yang individual, penderitaan yang personal, kebahagiaan yang privat. Padahal, realitas sosial kita adalah realitas kolektif: kemiskinan struktural, ketidakadilan sistemik, keterasingan massal. Di sinilah sastra harus hadir, bukan sebagai pelarian, tapi sebagai pencerahan.”
Kleden mengkritik keras sastra yang hanya “indah”, tapi buta terhadap struktur. Ia menuntut romantika yang kritis, romantika yang tak hanya menyentuh hati, tapi juga membangunkan akal budi.
Baginya, menulis tentang cinta sejati bukan tentang pacaran di bawah rembulan, tapi tentang cinta yang berani melawan sistem yang merampas hak hidup manusia. Romantika sejati adalah ketika seorang guru rela tak dibayar demi mengajar anak-anak miskin. Ketika seorang buruh mogok bukan hanya untuk upah, tapi untuk martabat. Ketika seorang ibu menolak digusur bukan karena tanah, tapi karena kenangan, karena akar, karena harga diri.
Itu romantika menurut Kleden: romantika yang sadar struktur, yang tak lari dari realitas, yang justru memeluk realitas untuk mengubahnya.
Romantika sebagai Etika Politik dan Moral Intelektual
Daniel Dhakidae ( ilmuwan politik dan pemikir kritis) melihat romantika dari sudut yang berbeda: sebagai etika. Etika dalam berpolitik. Etika dalam berpikir. Etika dalam menulis.
Dalam tulisannya “Pergulatan Dunia Intelektual: Konstruksi, Hegemoni, dan Kuasa”, Dhakidae menegaskan:
“Intelektual sejati bukan yang paling pintar, tapi yang paling punya keberpihakan moral. Ia tidak netral di hadapan ketidakadilan. Ia memilih dan pilihannya adalah cinta: cinta pada kebenaran, cinta pada kaum tertindas, cinta pada masa depan yang lebih manusiawi.”
Bagi Dhakidae, romantika dalam tulisan adalah bentuk keberpihakan yang elegan. Bukan kebencian yang kasar, bukan amarah yang liar, tapi cinta yang teguh, yang sabar, yang tak goyah. Ia percaya bahwa tulisan yang paling revolusioner justru lahir dari cinta bukan dari kebencian.
Ia mengkritik tulisan-tulisan reaktif yang hanya meludah amarah tanpa solusi, tanpa visi, tanpa cinta. Menurutnya:
“Amarah tanpa cinta hanya akan melahirkan kekerasan baru. Tapi cinta dengan amarah, cinta yang marah karena melihat ketidakadilan,itulah yang bisa melahirkan perubahan sejati.”
Romantika menurut Dhakidae adalah cinta yang berani marah tapi tak pernah berhenti mencintai. Cinta yang melawan tapi tak pernah membenci. Cinta yang menuntut keadilan, tapi tetap menghargai kemanusiaan lawan.
Penutup: Romantika Sejati: Cinta yang Tak Buta, Tapi Justru Paling Melihat
Maka, ketika saya menulis puisi “romantis” hari ini, saya tak menulis untuk kekasih, tapi untuk kemanusiaan. Saya tak menulis untuk menghibur, tapi untuk menyadarkan. Saya tak menulis untuk kabur, tapi untuk terlibat.
Romantika saya, seperti yang diajarkan Romo Mangun adalah spiritualitas yang turun ke jalan.
Seperti yang diingatkan Kleden adalah kritik terhadap ilusi, yang membuka mata pada struktur.
Seperti yang diyakini Dhakidae adalah etika intelektual yang berpihak, tanpa kehilangan kemanusiaan.
Romantika bukan tentang cinta dua jiwa, tapi tentang cinta satu jiwa: jiwa kemanusiaan yang terluka, yang masih berdetak, yang masih berharap dan yang pantas kita perjuangkan.
“Aku tak menulis puisi cinta untukmu,
tapi untuk perempuan yang bekerja 12 jam sehari
dan masih menyisihkan uang untuk membeli pensil anaknya.
Untuk laki-laki yang dipenjara karena berani bicara,
tapi masih menulis surat untuk ibunya: ‘Aku baik-baik saja.’
Untuk anak-anak yang tidur di kolong jembatan,
tapi masih bermimpi jadi guru, jadi dokter, jadi penyair.
Itu cintaku.
Itu romantikaku.
Itu puisiku.
Dan jika kau bertanya, mengapa aku masih percaya?
Karena di tengah kegelapan, cinta semacam ini adalah cahaya yang tak bisa dipadamkan.”
Mencintai manusia yang terluka, adalah bentuk pemberontakan paling indah dan paling revolusioner yang bisa kita lakukan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI