“Cinta bukan kata-kata manis di bibir. Cinta adalah tangan yang kotor karena bekerja untuk orang lain. Cinta adalah kaki yang lecet karena berjalan jauh demi kebenaran. Cinta adalah hati yang tetap hangat meski dunia membeku.”
Itu romantika Mangunwijaya: romantika yang berpijak di lumpur, tapi menatap langit. Romantika yang tak takut kotor, karena ia tahu, di sanalah cinta sejati ditemukan.
Romantika sebagai Kritik terhadap Ilusi Modernitas
Ignas Kleden (sosiolog dan kritikus budaya) mengingatkan kita: jangan tertipu oleh romantika palsu. Romantika yang dijual media, yang dikemas industri, yang dipamerkan di layar, seringkali hanyalah ilusi. Ilusi cinta, ilusi kebahagiaan, ilusi kemajuan.
Dalam esainya “Sastra Indonesia dan Masalah-Masalah Sosial”, Kleden menulis:
“Banyak sastra kita terjebak dalam romantika borjuis, cinta yang individual, penderitaan yang personal, kebahagiaan yang privat. Padahal, realitas sosial kita adalah realitas kolektif: kemiskinan struktural, ketidakadilan sistemik, keterasingan massal. Di sinilah sastra harus hadir, bukan sebagai pelarian, tapi sebagai pencerahan.”
Kleden mengkritik keras sastra yang hanya “indah”, tapi buta terhadap struktur. Ia menuntut romantika yang kritis, romantika yang tak hanya menyentuh hati, tapi juga membangunkan akal budi.
Baginya, menulis tentang cinta sejati bukan tentang pacaran di bawah rembulan, tapi tentang cinta yang berani melawan sistem yang merampas hak hidup manusia. Romantika sejati adalah ketika seorang guru rela tak dibayar demi mengajar anak-anak miskin. Ketika seorang buruh mogok bukan hanya untuk upah, tapi untuk martabat. Ketika seorang ibu menolak digusur bukan karena tanah, tapi karena kenangan, karena akar, karena harga diri.
Itu romantika menurut Kleden: romantika yang sadar struktur, yang tak lari dari realitas, yang justru memeluk realitas untuk mengubahnya.
Romantika sebagai Etika Politik dan Moral Intelektual
Daniel Dhakidae ( ilmuwan politik dan pemikir kritis) melihat romantika dari sudut yang berbeda: sebagai etika. Etika dalam berpolitik. Etika dalam berpikir. Etika dalam menulis.
Dalam tulisannya “Pergulatan Dunia Intelektual: Konstruksi, Hegemoni, dan Kuasa”, Dhakidae menegaskan:
“Intelektual sejati bukan yang paling pintar, tapi yang paling punya keberpihakan moral. Ia tidak netral di hadapan ketidakadilan. Ia memilih dan pilihannya adalah cinta: cinta pada kebenaran, cinta pada kaum tertindas, cinta pada masa depan yang lebih manusiawi.”