Jadi, alih-alih saling berebut, Pegadaian dan bank justru saling melengkapi. Seperti dua tangan yang berbeda fungsinya, tapi sama-sama dibutuhkan untuk membangun. Bank kasih modal besar, Pegadaian kasih akses kecil yang cepat dan nyata.
Tapi di balik semua ini, ada bayang-bayang panjang yang mengintai: jangan sampai Pegadaian berubah jadi penampung krisis sosial. Semakin banyak orang yang datang bukan karena butuh modal usaha, tapi karena benar-benar terjepit tidak punya makanan, anak mau sekolah, rumah sakit menagih. Dalam kondisi seperti itu, gadai bukan lagi strategi, tapi terakhir kali bertahan.
Dan ketika emas kawin, cincin nenek, atau kalung warisan harus dilepas demi bertahan hidup, maka di situlah kita harus bertanya: apakah sistem sedang bekerja untuk rakyat, atau justru meninggalkan mereka?
Namun, di tengah semua tekanan itu, Pegadaian tetap menjaga nada humanisnya. Petugasnya tidak hanya hitung gram emas, tapi juga menangkap isyarat keputusasaan di mata nasabah. Mereka yang datang terlambat bayar tidak langsung ditekan, tapi diajak bicara: "Ada masalah? Ayo kita cari solusi." Bahkan di beberapa kantor, mulai muncul pojok edukasi kecil: poster tentang literasi keuangan, brosur cara kelola usaha, dan info program pelatihan gratis.
Karena Pegadaian sadar:
yang mereka layani bukan hanya angka dan agunan, tapi mimpi-mimpi yang rapuh, harapan yang nyaris padam, dan harga diri yang masih ingin dipertahankan.
Saat hujan uang 200 triliun turun di atap gedung bank, tidak semua tetesan sampai ke tanah tempat rakyat kecil berpijak. Tapi di dekat pasar, di pinggir desa, di gang sempit kota kecil, Pegadaian tetap berdiri, bukannya menunggu izin dari pusat, tapi membuka pintu setiap hari, jam 8 pagi sampai 4 sore, siap menerima siapa pun yang datang dengan satu barang berharga dan satu harapan.
Dan mungkin, itulah bentuk keadilan ekonomi yang paling nyata:
bukan yang paling besar, tapi yang paling dekat.
Bukan yang paling murah, tapi yang paling bisa dijangkau.
Bukan yang paling heboh di media, tapi yang paling setia di saat sulit.
Karena pada akhirnya,
Indonesia tidak akan bangkit dari rapat-rapat megah di Istana,
tapi dari tangan-tangan yang masih berani menggadaikan emas demi makanan anaknya,
dan dari lembaga yang tetap menjawab,
"Silakan masuk, Bu. Kita cari jalan bareng."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI