Ketika Jabatan Menteri Lebih Cepat Berganti Dari Giliran Ronda Malam
Malam itu, langit Dusun Pondok sedang bersahabat. Gerimis kecil baru saja berlalu, meninggalkan aroma tanah basah yang bikin kangen masa kecil, waktu hidup masih sederhana, dan masalah negara cuma jadi bahan obrolan warung kopi, bukan trauma kolektif.
Di pos ronda RW 07 (yang atapnya bocor tapi WiFi-nya juara) empat orang duduk melingkar di atas tikar lusuh yang sudah jadi saksi bisu ribuan obrolan mulai dari harga cabai sampai kiamat. Di tengah mereka: piring tempe goreng renyah, tahu isi yang masih ngebul, segelas kopi tubruk yang hitam pekat, dan satu HP Android yang sedang memutar ulang siaran langsung pengumuman reshuffle kabinet jilid ke-7 dalam tiga tahun terakhir.
Pak RT: lelaki paruh baya dengan perut buncit hasil konsumsi gorengan tiap ronda baru saja mengunyah gigitan terakhir tempe, lalu mengangkat alisnya.
"Wah... reshuffle lagi," katanya pelan, seolah sedang mengumumkan kematian tokoh penting.
"Ini udah berapa kali, Dik?"
Mas Dodi: anak muda berkacamata minus tapi lebih sering nonton TikTok politik daripada kerja langsung cek timeline-nya.
"Ini reshuffle ke-7, Pak. Artinya, tiap 5 bulan sekali Presiden ganti menteri. Lebih cepat dari giliran jaga kita yang sebulan sekali dan itu aja sering bolong."
Bu Lestari: ibu-ibu dengan gaya bicara cepat dan volume tinggi nyerocos sambil nyeruput kopi.
"Ya ampun, jangan-jangan mereka reshuffle cuma biar dapet foto resmi pake jas bagus buat LinkedIn. 'Mantan Menteri Investasi 2025, Pengalaman: 3 Bulan, Prestasi: Foto Bareng Presiden'."
Pak Karsono: mantan aktivis ormas yang sekarang jadi tukang parkir resmi pos ronda langsung ketawa ngakak,
"Iya bener! Nanti kalau pensiun, CV-nya tebel kayak novel: "...mantan..anu, mantan ani..."
Obrolan pun mulai mengalir deras, seperti air hujan yang nyemplung ke ember bocor di pojok pos ronda.
Pak RT, yang dulu guru olahraga tapi sekarang ahli strategi gaplek, mulai serius.
"Ini kayak di pos ronda kita dulu, lho. Ingat tahun lalu? Kita bikin 'struktur kepengurusan ronda' biar kelihatan profesional. Ada Ketua Umum, Wakil Ketua Urusan Gorengan, Sekjen Tiket Parkir, Bendahara Uang Kembalian, Koordinator Humas yang kerjanya cuma upload foto ronda pake filter sunset plus Tim Ahli Strategi Tidur Saat Jaga."
Bu Lestari langsung nyambung, matanya berapi-api.
"Dan hasilnya? WC pos ronda tetap bau, lampu mati tiga bulan gak diganti, dan jadwal ronda sering kosong karena 'sedang ada tugas luar' maksudnya main gaplek di warung Bu Surti sambil nonton sinetron."
Mas Dodi manggut-manggut.
"Persis kayak kabinet! Semua jabatan ada, pasukan lengkap, struktur rapi kayak org chart perusahaan multinasional tapi jalan depan rumah Pak Lurah masih berlubang kayak kawah. Katanya 'sedang dalam proses lelang tahun depan'. Proses lelang apaan? Lelang siapa yang mau nambal duluan?"
Bu Lestari, yang mulai masuk mode filosofis karena efek kopi tubruk plus malam-malam begini, bersuara pelan tapi menusuk:
"Menurutku, mereka bukan kerja buat rakyat. Mereka kerja buat... catatan administratif sejarah. Biar cucunya bisa pamer di sekolah: 'Kakekku pernah jadi menteri, lho!' meski cuma 17 hari, gak ngapa-ngapain, cuma foto-foto dan tanda tangan berkas yang gak dibaca."
Mas Dodi langsung angkat jempol.
"Itu namanya 'Prestise Jabatan Seumur Jagung'. Kayak kita dulu jadi 'Ketua Panitia 17 Agustusan', tapi cuma bertugas bagi-bagi bendera plastik dan nulis nama pemenang lomba balap karung terus namanya dipajang di papan pengumuman sampai sekarang, padahal panitianya udah pada pindah kota."
Pak Karsono ketawa.
"Ya udah, biarin aja. Toh, di pos ronda ini kita udah punya sistem sendiri:
Kalau ada masalah selesaikan dengan remi.
Kalau remi gak selesai selesaikan dengan gorengan.
Kalau gorengan habis tidur aja. Besok lusa urus lagi.
Dan kalau tetangga marah-marah? Kasih dia gorengan gratis langsung senyum lagi."
Ketika negara sibuk mengganti menteri, rakyat sibuk mengganti kartu remi.
Ketika elite sibuk rapat zoom, warga sibuk rapat di pos ronda dengan agenda utama: "Siapa yang bayar kopi?"
"Lebih baik jadi Ketua Ronda Seumur Hidup daripada Menteri Seumur Jagung karena ronda beneran jaga warga, bukan cuma jaga citra."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI