Setiap Minggu pagi, setelah ibadah anak selesai, guru sekolah minggu bisa mengajak anak-anak ke perpustakaan. Bukan untuk belajar. Bukan untuk menghafal. Tapi untuk "waktu tenang bersama Firman." Lima belas menit saja. Mereka bebas memilih buku. Bebas duduk di lantai atau di kursi kecil. Bisa baca sendiri, bisa minta dibacakan. Tidak ada yang buru-buru. Tidak ada yang menilai.
Dan di dalam keheningan itu (di antara gambar Daud, Yesus, dan Debora) anak-anak belajar sesuatu yang tak bisa diajarkan lewat khotbah: bahwa Tuhan dekat. Bahwa Firman-Nya hidup. Bahwa membaca bisa jadi doa. Bahwa diam bisa jadi ibadah.
"Dulu aku cuma baca Alkitab kalau disuruh. Sekarang, aku suka banget ke perpustakaan gereja. Kadang aku bawa pulang buku, baca sama papa. Papa juga jadi ikut baca." (Samuel, 9 tahun)
Lihat? Bukan hanya anak yang berubah. Keluarga pun ikut tersentuh. Dan semua itu dimulai dari satu ruangan kecil, yang dipenuhi buku, dan dikelilingi kasih.
Untuk Pustakawan Gereja: Anda Penjaga Hati, Bukan Penjaga Buku
Anda mungkin tidak memakai jubah atau membawa mikrofon. Tapi Anda adalah salah satu pelayan yang paling penting di gereja ini. Karena Anda bukan sekadar merapikan rak atau mencatat peminjaman. Anda sedang menjaga hati-hati kecil yang sedang belajar mencintai Tuhan, lewat halaman demi halaman.
Tidak masalah kalau koleksinya belum lengkap. Tidak masalah kalau ruangannya kecil. Yang penting adalah: Senyum Anda tulus saat menyambut mereka. Waktu Anda cukup untuk mendengar cerita mereka. Hatimu cukup lapang untuk membiarkan mereka salah, lambat, atau hanya duduk diam.
Karena di balik setiap buku yang Anda pegang, ada jiwa yang sedang belajar: bahwa Tuhan ada dan Ia berbicara lewat halaman yang mereka buka dengan tangan kecil mereka.
Penutup: Biarkan Mereka Datang dengan Hati Terbuka
Jangan paksa mereka hafal. Jangan kejar target baca. Jangan ukur keberhasilan dengan berapa banyak ayat yang mereka ingat.
Biarkan mereka datang dengan rasa ingin tahu.
Biarkan mereka duduk dengan hati yang lembut.
Biarkan mereka membaca dengan damai, dengan senyum, dengan jiwa yang haus akan cerita, akan Tuhan, akan kasih.
Karena dari situlah, benih iman tumbuh perlahan, tanpa suara, tapi pasti.
Dari situlah, cinta pada Firman bersemi bukan karena takut, tapi karena rindu.
Dan dari situlah  (tanpa mereka sadari) mereka sedang belajar menjadi pembaca seumur hidup. Bukan hanya pembaca Alkitab, tapi pembaca dunia. Pembaca kehidupan. Pembaca hati Tuhan.
"Buku pertama yang menyentuh hati anak, akan membuka pintu bagi seribu buku lainnya termasuk buku kehidupan yang sesungguhnya."