Saya menulis untuk memeluk persaudaraan. Bukan persaudaraan yang seragam, tapi persaudaraan yang berani berbeda. Persaudaraan yang tak butuh seragam atau slogan, tapi cukup dengan satu kalimat: "Aku di sini. Aku mendengarmu. Kamu tidak sendiri."
***
Di era di mana algoritma mengukur nilai manusia dari jumlah like dan share, saya memilih jalan lain: jalan sunyi, jalan lambat, jalan yang kadang tak dilihat. Tapi jalan ini (jalan kata-kata yang tulus) adalah jalan yang paling dalam akarnya. Seperti sungai bawah tanah, tak terlihat, tapi mengaliri seluruh kehidupan di atasnya.
Saya belajar dari Romo Mangun, yang menulis bukan untuk diingat sebagai pahlawan, tapi agar orang kecil punya suara.
Saya belajar dari Kwik Kian Gie, yang menulis bukan untuk disanjung, tapi agar keadilan tak mati di meja birokrasi.
Saya belajar dari Bunda Teresa (yang menginspirasi saya untuk menulis buku kedua saya di tahun 2005 tentang doa-doa yang biasa dia daraskan), yang tak banyak menulis, tapi hidupnya adalah puisi terpanjang tentang kasih, dan saya menulis untuk menerjemahkan puisi itu ke dalam bahasa sehari-hari.
***
Jadi, ketika tulisan saya tak lolos jadi artikel utama, saya tersenyum. Karena saya tahu: kekuasaan kata bukan diukur dari panggung, tapi dari pelukan. Bukan dari sorot lampu, tapi dari kehangatan yang tersisa setelah kata itu dibaca.
Saya menulis agar kisah saya (yang mungkin kecil, yang mungkin biasa) bisa menjadi kasih pada sesama.
Karena di balik setiap kata, ada napas.
Di balik setiap kalimat, ada doa.
Di balik setiap paragraf, ada uluran tangan.
Dan tangan itu, tak peduli seberapa kecil, seberapa sederhana bisa menjadi jembatan.
Bisa menjadi pelita.
Bisa menjadi rumah.
Mari kita menulis bukan untuk menjadi besar, tapi untuk membuat yang kecil merasa berarti.
Bukan untuk menjadi terkenal, tapi untuk membuat yang terlupakan merasa diingat.
Bukan untuk menang, tapi untuk meneguhkan.
Karena kekuasaan sejati bukan di tangan yang menggenggam tongkat,
tapi di tangan yang menggenggam hati.