Akar dari Hati
Nitu berdiri di tepi pantai, angin asin menggerai rambutnya. Laut yang dulu tenang kini menggerogoti daratan seperti tikus rakus yang kelaparan. Rumah-rumah di tepi pantai runtuh, ikan-ikan menghilang. "Bakau adalah perisai alami," kata kakeknya dulu. Tapi sekarang, bakau sudah habis. Dia memutuskan untuk bertindak.
Setiap pagi, Nitu berjalan ke tepi pantai dengan keranjang di tangan. Dia mengambil propagul bakau dari sisa-sisa hutan mangrove yang tersisa. Setiap kali ombak datang, benih-benih itu terbawa. Tapi Nitu tak menyerah. Dia menancapkan bambu sebagai penahan, menanam kembali. Tangannya lecet, punggungnya pegal, tapi langkahnya tetap tegap.
"Kenapa repot-repot, Nak? Laut pasti akan mengambilnya lagi," kata Pak Loko, tetangganya.
Nitu hanya tersenyum. "Kalau tidak dicoba, tidak akan ada yang berubah."
Malam itu, angin kencang mengguncang rumahnya. Hujan deras menghujam. Nitu tak bisa tidur. Dia terus memikirkan benih-benih yang ditanamnya. Dia ingat wajah Aisha, temannya yang gemar bermain di pantai. Dia tak ingin Aisha kehilangan rumahnya.
Pagi harinya, dia bergegas ke pantai. Tiba-tiba, ia melihat sesuatu yang tak pernah dibayangkan. Mangrove-mangrove yang ditanamnya berdiri tegak, akar-akarnya mengikat tanah. Ombak yang ganas terhenti oleh jari-jari kecil akar-akar itu. Di sekitarnya, daratan masih utuh. Sedangkan daerah lain sudah terkikis hingga ke dasar laut.
Warga mulai berdatangan. Mereka terkejut melihatnya. "Ini hasil karyamu, Nak Nitu?" tanya salah seorang.
Nitu mengangguk. "Ya. Setiap pohon yang ditanam adalah harapan."
Lambat laun, warga mulai membantu. Anak-anak kecil ikut menanam. Tidak ada lagi yang meremehkan. Nitu tahu, go green dimulai dari pikiran dan hati. Satu orang bisa memulai, lalu menjadi banyak.