Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[teenlit] Akar dari Hati

15 September 2025   06:17 Diperbarui: 15 September 2025   06:17 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan qwen AI, dokpri)

Akar dari Hati

Nitu berdiri di tepi pantai, angin asin menggerai rambutnya. Laut yang dulu tenang kini menggerogoti daratan seperti tikus rakus yang kelaparan. Rumah-rumah di tepi pantai runtuh, ikan-ikan menghilang. "Bakau adalah perisai alami," kata kakeknya dulu. Tapi sekarang, bakau sudah habis. Dia memutuskan untuk bertindak.

Setiap pagi, Nitu berjalan ke tepi pantai dengan keranjang di tangan. Dia mengambil propagul bakau dari sisa-sisa hutan mangrove yang tersisa. Setiap kali ombak datang, benih-benih itu terbawa. Tapi Nitu tak menyerah. Dia menancapkan bambu sebagai penahan, menanam kembali. Tangannya lecet, punggungnya pegal, tapi langkahnya tetap tegap.

"Kenapa repot-repot, Nak? Laut pasti akan mengambilnya lagi," kata Pak Loko, tetangganya.

Nitu hanya tersenyum. "Kalau tidak dicoba, tidak akan ada yang berubah."

Malam itu, angin kencang mengguncang rumahnya. Hujan deras menghujam. Nitu tak bisa tidur. Dia terus memikirkan benih-benih yang ditanamnya. Dia ingat wajah Aisha, temannya yang gemar bermain di pantai. Dia tak ingin Aisha kehilangan rumahnya.

Pagi harinya, dia bergegas ke pantai. Tiba-tiba, ia melihat sesuatu yang tak pernah dibayangkan. Mangrove-mangrove yang ditanamnya berdiri tegak, akar-akarnya mengikat tanah. Ombak yang ganas terhenti oleh jari-jari kecil akar-akar itu. Di sekitarnya, daratan masih utuh. Sedangkan daerah lain sudah terkikis hingga ke dasar laut.

Warga mulai berdatangan. Mereka terkejut melihatnya. "Ini hasil karyamu, Nak Nitu?" tanya salah seorang.

Nitu mengangguk. "Ya. Setiap pohon yang ditanam adalah harapan."

Lambat laun, warga mulai membantu. Anak-anak kecil ikut menanam. Tidak ada lagi yang meremehkan. Nitu tahu, go green dimulai dari pikiran dan hati. Satu orang bisa memulai, lalu menjadi banyak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun