Banjir dan Jeritan Bumi: Ketika "Rumah Bersama" Kita Menangis
Pernahkah Anda merasa bumi ini seperti sedang menangis? Tidak dengan air mata, tapi dengan banjir yang semakin sering menghantam kita? Saya teringat kalimat Paus Fransiskus dalam Laudato Si': "Kaum miskin dan bumi sedang menangis." Kalimat sederhana ini ternyata sangat dalam maknanya, terutama ketika kita melihat bencana banjir yang terjadi di Bali pada Oktober 2022 dan di Wolosambi, Nagekeo, pada September 2025.
Â
Bali yang Tenggelam: Ketika Surga Wisata Jadi Lautan Air
Bayangkan: pulau yang dikenal sebagai "Surga Dunia" tiba-tiba berubah menjadi lautan air pada 8 Oktober 2022. Jalan-jalan di Denpasar yang biasanya macet oleh wisatawan, kini dipenuhi oleh arus banjir. Ratusan toko terendam, satu ruko roboh, dan warga berlarian menyelamatkan diri. Gubernur Bali saat itu mungkin berkata, "Ini hanya hujan deras biasa," tapi para ahli tata ruang dan Menteri Lingkungan Hidup memberikan diagnosis yang lebih dalam: "Ini adalah tangisan bumi yang kita abaikan."
Fakta pahitnya: setiap tahun, 1.000 hektar lahan pertanian di Bali beralih fungsi menjadi villa, hotel, dan ruko. Kota Denpasar saja kehilangan 100 hektar sawah hanya dalam dua tahun (2023-2024). Ini bukan sekadar angka statistik, ini adalah cerminan dari mentalitas yang dikritik Laudato Si': "paradigma teknokratis" yang memandang alam hanya sebagai sumber daya yang bisa dieksploitasi.
Kita terlalu sibuk membangun "surga" untuk wisatawan, sampai lupa bahwa bumi ini bukan hanya untuk kita nikmati, tapi juga untuk kita jaga. Seperti kata Paus Fransiskus, kita perlu berubah dari "tuan dan pemilik" alam menjadi "penjaga".
Wolosambi yang Terlupakan: Tangisan Kaum Miskin yang Tak Terdengar
Ribuan kilometer dari Bali, di sebuah desa terpencil di Nagekeo, NTT, terjadi tragedi serupa pada 8 September 2025. Banjir bandang menerjang Wolosambi, menewaskan 4 orang dan membuat 4 lainnya hilang. Delapan belas desa terisolasi, listrik padam, dan akses jalan terputus.
Yang membuat saya terenyuh adalah pernyataan sederhana Sekretaris Desa Lokalaba, Abdurrahman: "Gorong-gorong di jembatan terlalu kecil untuk menampung debit air." Sederhana, tapi mengena. Ini adalah pengakuan bahwa kita sering membangun infrastruktur tanpa memahami ritme alam.
Di sini, banjir bukan hanya merusak rumah, tapi juga menghancurkan mata pencaharian warga. Sawah rusak, perahu nelayan hanyut, ternak mati. Ini adalah wujud nyata dari "tangisan kaum miskin" yang disebut Paus Fransiskus, mereka yang paling rentan, yang hidupnya sangat bergantung pada alam, justru yang paling menderita ketika alam "marah".
Seperti diingatkan dalam Laudato Si', "Dampak dari pelanggaran terhadap lingkungan hidup terutama dirasakan oleh kaum miskin paling rentan.... Mereka tidak memiliki sumber daya untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim atau untuk menghadapi bencana alam yang kian sering terjadi."