Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Banjir dan Jeritan Bumi: Ketika "Rumah Bersama" Kita Menangis

12 September 2025   08:46 Diperbarui: 12 September 2025   08:46 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(akibat banjir di Wolosambi, Mauponggo, Nagekeo, NTT, sumber: flores.tribunnews)

Banjir dan Jeritan Bumi: Ketika "Rumah Bersama" Kita Menangis

Pernahkah Anda merasa bumi ini seperti sedang menangis? Tidak dengan air mata, tapi dengan banjir yang semakin sering menghantam kita? Saya teringat kalimat Paus Fransiskus dalam Laudato Si': "Kaum miskin dan bumi sedang menangis." Kalimat sederhana ini ternyata sangat dalam maknanya, terutama ketika kita melihat bencana banjir yang terjadi di Bali pada Oktober 2022 dan di Wolosambi, Nagekeo, pada September 2025.

 

Bali yang Tenggelam: Ketika Surga Wisata Jadi Lautan Air

Bayangkan: pulau yang dikenal sebagai "Surga Dunia" tiba-tiba berubah menjadi lautan air pada 8 Oktober 2022. Jalan-jalan di Denpasar yang biasanya macet oleh wisatawan, kini dipenuhi oleh arus banjir. Ratusan toko terendam, satu ruko roboh, dan warga berlarian menyelamatkan diri. Gubernur Bali saat itu mungkin berkata, "Ini hanya hujan deras biasa," tapi para ahli tata ruang dan Menteri Lingkungan Hidup memberikan diagnosis yang lebih dalam: "Ini adalah tangisan bumi yang kita abaikan."

Fakta pahitnya: setiap tahun, 1.000 hektar lahan pertanian di Bali beralih fungsi menjadi villa, hotel, dan ruko. Kota Denpasar saja kehilangan 100 hektar sawah hanya dalam dua tahun (2023-2024). Ini bukan sekadar angka statistik, ini adalah cerminan dari mentalitas yang dikritik Laudato Si': "paradigma teknokratis" yang memandang alam hanya sebagai sumber daya yang bisa dieksploitasi.

Kita terlalu sibuk membangun "surga" untuk wisatawan, sampai lupa bahwa bumi ini bukan hanya untuk kita nikmati, tapi juga untuk kita jaga. Seperti kata Paus Fransiskus, kita perlu berubah dari "tuan dan pemilik" alam menjadi "penjaga".

Wolosambi yang Terlupakan: Tangisan Kaum Miskin yang Tak Terdengar

Ribuan kilometer dari Bali, di sebuah desa terpencil di Nagekeo, NTT, terjadi tragedi serupa pada 8 September 2025. Banjir bandang menerjang Wolosambi, menewaskan 4 orang dan membuat 4 lainnya hilang. Delapan belas desa terisolasi, listrik padam, dan akses jalan terputus.

Yang membuat saya terenyuh adalah pernyataan sederhana Sekretaris Desa Lokalaba, Abdurrahman: "Gorong-gorong di jembatan terlalu kecil untuk menampung debit air." Sederhana, tapi mengena. Ini adalah pengakuan bahwa kita sering membangun infrastruktur tanpa memahami ritme alam.

Di sini, banjir bukan hanya merusak rumah, tapi juga menghancurkan mata pencaharian warga. Sawah rusak, perahu nelayan hanyut, ternak mati. Ini adalah wujud nyata dari "tangisan kaum miskin" yang disebut Paus Fransiskus, mereka yang paling rentan, yang hidupnya sangat bergantung pada alam, justru yang paling menderita ketika alam "marah".

Seperti diingatkan dalam Laudato Si', "Dampak dari pelanggaran terhadap lingkungan hidup terutama dirasakan oleh kaum miskin paling rentan.... Mereka tidak memiliki sumber daya untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim atau untuk menghadapi bencana alam yang kian sering terjadi."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun