Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Banjir dan Jeritan Bumi: Ketika "Rumah Bersama" Kita Menangis

12 September 2025   08:46 Diperbarui: 12 September 2025   08:46 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(akibat banjir di Wolosambi, Mauponggo, Nagekeo, NTT, sumber: flores.tribunnews)

(banjir di Bali, sumber: westjavatoday)
(banjir di Bali, sumber: westjavatoday)

Dua Bencana, Satu Akar Masalah

Apa yang terjadi di Bali dan Nagekeo mungkin berbeda geografisnya, tapi punya akar masalah yang sama. Seperti dikatakan Paus Fransiskus dalam Laudato Si': "Tidak ada dua krisis terpisah; satu lingkungan dan satu sosial. Melainkan satu krisis kompleks yang bersifat sosial dan lingkungan."

Di Bali, kita melihat krisis lingkungan akibat alih fungsi lahan yang masif, diiringi krisis sosial di mana pedagang kecil dan warga miskin yang paling menderita. Di Nagekeo, kita melihat krisis infrastruktur yang tidak memadai, yang secara langsung memengaruhi kehidupan masyarakat miskin yang bergantung pada alam.

Keduanya adalah buah dari "budaya membuang" (throwaway culture) yang dikritik Paus Fransiskus, budaya yang tidak hanya membuang sampah, tapi juga membuang nilai-nilai kearifan lokal, membuang keberlanjutan, dan bahkan membuang manusia yang dianggap "tidak penting".

Pertobatan Ekologis: Bukan Hanya Soal Menanam Pohon

Laudato Si' tidak hanya mengkritik, tapi juga menawarkan solusi: "pertobatan ekologis". Ini bukan sekadar menanam pohon atau memilah sampah (meski itu penting), tapi perubahan mendasar dalam cara kita berpikir dan bertindak.

Pertobatan ekologis berarti: Pertama, Menghentikan mentalitas "tuan dan pemilik". Kita bukan tuan atas bumi, tapi penjaga. Seperti kata Paus Fransiskus, bumi adalah "saudari" kita, bukan sumber daya yang bisa dieksploitasi seenaknya.

Kedua, Membangun infrastruktur yang berbicara dengan alam. Di Bali, kita perlu menghentikan alih fungsi lahan dan merestorasi fungsi lahan resapan air. Di Nagekeo, kita perlu membangun infrastruktur yang memahami ritme alam, bukan memaksakan kehendak pada alam.

Ketiga, Menghargai kearifan lokal. Masyarakat Bali punya sistem subak yang telah terbukti menjaga keseimbangan air selama ratusan tahun. Masyarakat Nagekeo punya pengetahuan tentang tanah dan air yang perlu kita dengarkan.

Keempat, Menghentikan budaya instan. Kita terlalu terbiasa mencari solusi cepat tanpa memikirkan dampak jangka panjang. Pertobatan ekologis mengajak kita untuk berpikir generasional: "Apa yang akan kita tinggalkan untuk anak cucu kita?"

(sumber: Times Indonesia)
(sumber: Times Indonesia)

"Rumah Bersama" yang Perlu Kita Jaga

Salah satu konsep paling indah dalam Laudato Si' adalah gagasan "rumah bersama" (our common home). Bumi ini bukan milik pemerintah, bukan milik pengembang, bukan milik siapa pun, ia adalah rumah kita bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun