Pelangi di Bawah Langit yang Sama
(Bukan Tentang Sekolah, Tapi Tentang Indonesia)
Matahari pagi menyelinap di antara gedung-gedung SMA Negeri 117 Selayang Pandang, menyiram halaman sekolah dengan cahaya keemasan. Di sudut taman, dua gadis berseragam putih-abu dengan kalung salib kecil duduk di bangku kayu, sibuk mengisi kotak bekal masing-masing. Aisha menata nasi uduk buatan ibunya, sementara Siti menyelipkan kerupuk udang ke dalam bungkus kertas cokelat. Di sebelah mereka, Mariah (gadis berambut ikal dengan jilbab rapi) membuka kotak makanan berisi lontong sayur yang ia bawa dari rumah.
"Kemarin, Ibu bilang nasi uduk-nya kebanyakan lauk," kata Aisha sambil tersenyum, mendorong sebagian ayam goreng ke piring Mariah. "Makan aja, biar jangan kelaparan lagi kayak kemarin."
Mariah tertawa, matanya berbinar. "Aku nggak kelaparan, Ash. Cuma nggak sempat sarapan soalnya bantu Ibu di warung." Ia mengambil sepotong ayam, lalu menyerahkan sebagian lontong ke Siti. "Ini, cobain. Ibu bilang rempahnya pas."
Mereka berbagi makanan seperti ini sudah dua tahun. Sejak pertama kali Mariah duduk di sebelah Aisha di kelas X, ketika gadis itu salah paham bahwa kalung salib Aisha "terlalu berat" dan malah menawarkan penghapus berbentuk malaikat dari kelas kesenian. Sejak hari itu, mereka tak pernah berhenti saling mengisi.
Di sekolah mereka, perbedaan agama sering jadi api kecil yang mudah membara. Beberapa bulan lalu, selembar poster "Katolik Tidak Boleh Berteman dengan Non-Katolik!" tersebar di kantin, ditulis tangan dengan tinta hitam pekat. Aisha ingat bagaimana tangannya gemetar saat membacanya, tapi Siti hanya menghela napas, lalu melipat poster itu rapi. "Besok kita ganti dengan yang lain," katanya pelan.
Keesokan harinya, di tempat yang sama, tergantung poster baru: "Salam dari Kami yang Percaya pada Senyum: Setiap Agama Mengajarkan Cinta." Di bawahnya, Aisha dan Siti menggambar pelangi dengan warna-warni, masing-masing ujungnya menyentuh simbol agama berbeda: salib, crescent, bintang David, om, dan swastika. Maria membantu menulis kalimat itu dengan huruf calligraphy yang ia pelajari dari kelas seni.
"Kalian nggak takut diomelin?" tanya Mariah waktu itu, jari-jarinya masih berlumur spidol.
Aisha mengangkat bahu. "Yesus nggak pernah takut jadi terang dunia, Ma." Ia tak menyebut nama-Nya dengan sembarangan, tapi senyumnya tahu: setiap kali marah, ia ingat bagaimana Yesus berkata, "Aku datang bukan untuk mengakimi, tapi untuk mengasihi."
Masalah datang saat pemilihan ketua OSIS. Rani, calon dari kelompok "Sahabat Injil", tiba-tiba menyebarkan pesan di grup WhatsApp: "Jangan pilih Mariah! Muslim kan suka memurtadkan orang!" Aisha melihat pesan itu sambil menahan napas. Ia tahu Maria (yang sejak kelas X aktif membagikan bingkisan Natal kepada anak jalanan di gereja dekat masjidnya) tak pernah memaksa siapa pun berpindah keyakinan. Bahkan, ia pernah menolak hadiah Lebaran dari tetangga Katolik karena "tak mau ada tekanan".
Esoknya, Aisha dan Siti mengajak Maria ke kantin. "Kita bikin campaign beda," kata Siti, matanya berkilat. Mereka menggambar infografis sederhana: foto Maria sedang membagikan sembako ke warga korban kebakaran (katolik dan non-katolik), Aisha mengajar anak Muslim di acara "Mengenal Agama Teman", dan Siti merajut persahabatan lewat komunitas "Kuliner Nusantara" yang menghidangkan makanan halal dan non-halal. Di bawahnya tertulis: "Kami Bukan Calon Ketua, Tapi Calon Indonesia yang Lebih Baik."
Beberapa siswa mencibir. "Dasar nggak tahu diri! Mau jadi duta agama kalian?" ejek Rani di koridor.
Aisha hanya tersenyum. Saat pulang, ia melihat Rani kesulitan mengangkat tumpukan buku di tangga. Ia berlari membantu, meski Rani menolak. "Biar aku yang bawa," kata Aisha, suaranya lembut. "Yesus ajarin kita, jangan biarkan sesama kelaparan sementara kita kenyang." Rani diam, tapi esoknya, poster "Katolik Tidak Boleh Berteman" itu lenyap.