Seruan untuk Jiwa yang Masih Memiliki Indonesia
Untuk Pejabat, Aparat, Pendemo, dan Semua Anak Bangsa
Di tengah kemarahan yang membara, di antara asap pembakaran dan suara sirene, ada satu suara yang harus kita dengar: suara hati nurani. Bukan untuk menyalahkan, tapi untuk menyadarkan bahwa kita semua, tanpa kecuali, punya tanggung jawab menjaga Indonesia agar tak hancur oleh tangan-tangan yang seharusnya membangun.
Dengarlah, wahai yang duduk di istana kekuasaan,
di balik meja kayu jati dan AC yang berhembus dingin:
setiap rupiah yang kau naikkan untuk dirimu,
adalah tetes air mata anak sekolah yang tak mampu beli buku.
Turunlah sebentar.
Lihat mata ibu yang mengantre minyak di pagi buta.
Karena kemerdekaan bukan hak istimewa:
ia janji yang harus kau jaga, bukan kau khianati.
Wahai yang berseragam, pegang tongkat dan tameng,
ingat: kau bukan penjajah di negerimu sendiri.
Gas air mata tak boleh jadi jawaban atas keluh kesah rakyat.
Jika tanganmu ditugaskan untuk melindungi,
jangan justru kau jadikan alat menakut-nakuti.
Di balik massa yang marah, ada ayah, adik, saudara:
bukan musuh, tapi sesama yang kehilangan jalan.
Dan kau, saudaraku yang turun dengan dada membara,
hentikan tanganmu sebelum menghancurkan warisan bangsa.
Jembatan ini bukan milik pemerintah:
ia milik anakmu yang suatu hari akan menyeberang.
Rumah yang kau jarah bukan hanya milik pejabat,
tapi tempat bocah tidur, tempat nenek berdoa.
Ego kita harus mati dulu,
agar patriotisme bisa lahir kembali.
Karena Indonesia tak butuh pemenang yang berdiri di atas reruntuhan.
Ia butuh anak-anaknya yang kembali berpegang tangan:
dalam damai, dalam malu, dalam cinta yang masih tersisa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI