Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

[puisi] Seruan untuk Jiwa yang Masih Memiliki Indonesia

1 September 2025   12:44 Diperbarui: 1 September 2025   18:33 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Seruan untuk Jiwa yang Masih Memiliki Indonesia

Untuk Pejabat, Aparat, Pendemo, dan Semua Anak Bangsa

Di tengah kemarahan yang membara, di antara asap pembakaran dan suara sirene, ada satu suara yang harus kita dengar: suara hati nurani. Bukan untuk menyalahkan, tapi untuk menyadarkan bahwa kita semua, tanpa kecuali, punya tanggung jawab menjaga Indonesia agar tak hancur oleh tangan-tangan yang seharusnya membangun.

Dengarlah, wahai yang duduk di istana kekuasaan,
di balik meja kayu jati dan AC yang berhembus dingin:
setiap rupiah yang kau naikkan untuk dirimu,
adalah tetes air mata anak sekolah yang tak mampu beli buku.
Turunlah sebentar.
Lihat mata ibu yang mengantre minyak di pagi buta.
Karena kemerdekaan bukan hak istimewa:
ia janji yang harus kau jaga, bukan kau khianati.

Wahai yang berseragam, pegang tongkat dan tameng,
ingat: kau bukan penjajah di negerimu sendiri.
Gas air mata tak boleh jadi jawaban atas keluh kesah rakyat.
Jika tanganmu ditugaskan untuk melindungi,
jangan justru kau jadikan alat menakut-nakuti.
Di balik massa yang marah, ada ayah, adik, saudara:
bukan musuh, tapi sesama yang kehilangan jalan.

Dan kau, saudaraku yang turun dengan dada membara,
hentikan tanganmu sebelum menghancurkan warisan bangsa.
Jembatan ini bukan milik pemerintah:
ia milik anakmu yang suatu hari akan menyeberang.
Rumah yang kau jarah bukan hanya milik pejabat,
tapi tempat bocah tidur, tempat nenek berdoa.
Ego kita harus mati dulu,
agar patriotisme bisa lahir kembali.

Karena Indonesia tak butuh pemenang yang berdiri di atas reruntuhan.
Ia butuh anak-anaknya yang kembali berpegang tangan:
dalam damai, dalam malu, dalam cinta yang masih tersisa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun