Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[relasi] Teh Pahit, Tapi Hangat

26 Agustus 2025   22:09 Diperbarui: 26 Agustus 2025   22:09 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan Chat GPT, dokpri)

Teh Pahit, Tapi Hangat


Ia menyambutku dengan senyum yang tak sampai ke mata,
seperti pagi yang cerah tapi berangin,
aku masuk, membawa buah tangan dan harapan,
tapi hatiku tahu:
di ruang tamu ini, cinta harus diuji dulu sebelum diterima.


Setiap kata yang terucap,
terasa seperti diukur dengan timbangan tak kasat mata.
"Kerja di mana?"
"Gaji berapa?"
"Ayah ibumu siapa?"
Seolah hidupku bukan kisah,
tapi lamaran kerja yang belum lolos wawancara.


Tapi di balik dinginnya tatapan,
di balik ketusnya kalimat,
ada secangkir teh yang tetap kuhangatkan di tangan:
karena kadang,
cinta datang bukan dengan pelukan,
tapi dengan diam yang perlahan mencair.

***

Langit sore itu mendung, seperti perasaan Lely saat membuka pintu mobil. Ia menarik napas dalam-dalam, mengatur rambutnya yang tertiup angin, lalu mengangkat kotak kue dan buah yang dibawanya. Hari ini adalah kunjungan pertamanya ke rumah mertua sejak resmi menikah tiga bulan lalu. Dan sejak pertemuan pertama dulu, ia tahu: Ibu Sari (ibu mertuanya) bukan tipe yang mudah tersenyum.

"Masuk," kata Ibu Sari datar, membukakan pintu. Tidak ada pelukan. Tidak ada pujian untuk baju barunya. Hanya anggukan, lalu arahan ke ruang tamu.

Lely duduk di ujung sofa, seperti biasa tidak pernah berani duduk santai. Ibu Sari duduk di kursi kayu di seberang, tegak, seperti patung yang sedang mengawasi.

"Suamimu belum pulang?" tanya Ibu Sari, sambil menyeduh teh.

"Belum, Bu. Mas Adi masih ada rapat."

"Hmm. Kamu sendiri saja datang? Tidak takut?"

Dara tersenyum kecil. "Tidak, Bu. Saya kan sudah jadi bagian keluarga."

Ibu Sari menatapnya sebentar, lalu mengalihkan pandangan. "Bagian keluarga... belum tentu diterima di hati."

Lely menelan ludah. Kalimat itu menusuk, tapi ia sudah belajar. Sudah tiga kali ia pulang menangis diam-diam di mobil. Sudah dua kali ia hampir bilang pada Adi: "Aku nggak sanggup, sayang. Ibumu benci aku."

Tapi Adi selalu menenangkannya.
"Dia bukan benci. Dia takut. Takut kehilangan aku. Kamu harus sabar. Dan kamu harus tunjukkan bahwa kamu di sini bukan untuk menggantikan, tapi untuk melengkapi."

Maka Lely terus datang. Sendiri. Tanpa diminta. Membawakan kue kesukaan Ibu Sari. Menanyakan kabar kesehatannya. Bercerita tentang pekerjaannya, pelan-pelan, tanpa memaksa.

Hari ini, ia membawa sesuatu yang berbeda.

"Bu, ini resep teh jahe yang saya bilang waktu itu. Saya tulis manual, biar Ibu bisa baca. Katanya bagus buat asam urat."

Ibu Sari mengambil kertas itu, memandangnya lama. "Kamu... ingat saya bilang asam urat naik minggu lalu?"

"Iya, Bu. Waktu itu saya dengar Ibu bilang ke tukang sayur."

Ibu Sari diam. Matanya sedikit membulat. Lalu, sangat pelan, ia mengangguk.

"Terima kasih."

Lely tersenyum. Kali ini, lebih lebar. Kali ini, dari hati.

Mereka minum teh dalam hening. Tapi hening yang berbeda. Bukan hening karena ketegangan. Tapi hening yang nyaman. Seperti dua orang yang akhirnya mulai memahami bahasa satu sama lain.

Tak lama, Adi datang. Ia masuk dengan wajah lelah, langsung duduk di samping Lely.

"Ma, gimana tadi? Lely nggak bikin masalah kan?" godanya.

Ibu Sari menatap Lely, lalu ke Adi. "Tidak. Dia... baik."

Adi terkejut. "Serius, Bu? 'Baik' aja? Lely itu luar biasa, Bu. Dia yang selalu ingetin Ibu minum obat. Dia yang bantu Ibu urus surat tanah kemarin. Dia..."

"Sudah, sudah," potong Ibu Sari, tapi kali ini ada senyum kecil di sudut bibirnya. "Aku tahu. Aku bukan tidak lihat. Aku cuma... butuh waktu."

Lely menatapnya, mata berkaca-kaca.

Ibu Sari menarik napas. "Kamu datang terus, padahal tahu aku... dingin. Kamu tidak pernah marah. Tidak pernah balas. Kamu malah bawa teh, bantu tetangga, antar obat..."
Ia menunduk.
"Aku cuma takut... anakku nanti terlalu sibuk dengan istrinya, sampai lupa sama ibunya."

Lely berdiri, lalu perlahan mendekat. Ia berlutut di samping kursi Ibu Sari.

"Bu... saya datang bukan untuk mengambil Mas Adi dari Ibu. Saya datang untuk menambah satu orang yang sayang sama Ibu. Saya mau jadi anak Ibu juga. Kalau Ibu izin."

Ibu Sari menatapnya lama. Lalu, perlahan, tangannya yang keriput meraih tangan Lely. Gemetar.

"Duduklah," bisiknya. "Tehnya masih panas. Dan... kuenya... enak."

Adi tersenyum, hampir menangis.

Di luar, hujan mulai turun. Tapi di dalam rumah, untuk pertama kalinya, terasa seperti rumah.

***

Beberapa bulan kemudian, Lely hamil.
Saat ia memberi tahu, Ibu Sari tidak langsung tersenyum.
Ia diam. Lalu pergi ke dapur.
Lely mengira ia tidak senang.

Tapi lima menit kemudian, Ibu Sari kembali dengan bungkusan kecil.
"Ini jahe asli dari kampung. Rebus tiap pagi. Jangan lupa makan pagi. Dan... kalau mual, minum air kelapa muda. Jangan minum kopi."

Lely memeluknya. Kali ini, Ibu Sari tidak menolak.

Ia hanya berbisik, "Jaga anakku... dan cucuku."

Dan untuk pertama kalinya, ia memanggil Lely dengan satu kata yang selama ini ditunggu: "Nak."

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun