Vezo terdiam. Solo melanjutkan: "Di desaku dulu, nelayan yang tersesat selalu kembali saat mendengar siren'ny ranomasina, nyanyian laut. Tapi kau? Kau malah mendengar nyanyian La Ville."
Malam itu, Vezo tak ke klub. Ia duduk di tepi laguna, memegang batu karang, mendengarkan ombak. Di kejauhan, kapal nelayan berangkat, lampu mereka berkedip seperti bintang yang jatuh. Ia ingat kata-kata ibunya saat ia berangkat: "Jangan jadi seperti mpitondra, orang yang terbawa arus. Jadilah seperti vato mantatra: batu yang dipilih laut untuk kembali ke darat."
Pagi yang Berdebu
Besoknya, Vezo mengembalikan uang suap ke polisi pelabuhan: "Aku akan bekerja jujur. Jika kau tangkap aku, biarlah." Ia lalu pergi ke pelabuhan, meminta kerja sebagai buruh bongkar muat. Gajinya kecil, tapi cukup untuk mengirim 200.000 ariary ke desa.
Di La Ville, Sitraka mencarinya. "Kau gila? Di sini uang mengalir!"
Vezo tersenyum, menunjuk ke arah laguna. "Laut juga mengalir. Tapi ia selalu kembali ke darat."
Â
Tahun 2023 lalu, Vezo kembali ke Toliara sebagai nelayan di Ifaty. Di saku bajunya, ia selalu membawa sepotong batu karang, bukan jimat, tapi pengingat. Di rumahnya yang sederhana, tergantung foto adiknya yang kini menjadi guru di desa.
Suatu sore, ia melihat seorang pemuda dari desa datang ke Toliara, wajahnya berbinar seperti dirinya 20 tahun lalu. Vezo mendekat, menepuk bahunya:
"Dengarlah: Ny onja mihinana ny vato, fa ny vato tsy mihinana ny onja."
Pemuda itu tertawa. "Aku tahu. Aku akan taklukkan kota ini."
Vezo tersenyum, menunjuk ke arah ombak yang memecah di karang. "Tidak. Tapi kau bisa memintanya mengantarmu pulang."
Angin laut berhembus, membawa butiran garam menempel di wajahnya. Di Toliara, gelombang tak pernah berhenti menggerus batu, tapi batu itu tetap ada, menunggu saat laut mengembalikannya ke darat.