Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

[serinostalgia] Gelombang yang Tak Kembali

11 Agustus 2025   20:43 Diperbarui: 11 Agustus 2025   20:43 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Vezo terdiam. Solo melanjutkan: "Di desaku dulu, nelayan yang tersesat selalu kembali saat mendengar siren'ny ranomasina, nyanyian laut. Tapi kau? Kau malah mendengar nyanyian La Ville."

Malam itu, Vezo tak ke klub. Ia duduk di tepi laguna, memegang batu karang, mendengarkan ombak. Di kejauhan, kapal nelayan berangkat, lampu mereka berkedip seperti bintang yang jatuh. Ia ingat kata-kata ibunya saat ia berangkat: "Jangan jadi seperti mpitondra, orang yang terbawa arus. Jadilah seperti vato mantatra: batu yang dipilih laut untuk kembali ke darat."

Pagi yang Berdebu

Besoknya, Vezo mengembalikan uang suap ke polisi pelabuhan: "Aku akan bekerja jujur. Jika kau tangkap aku, biarlah." Ia lalu pergi ke pelabuhan, meminta kerja sebagai buruh bongkar muat. Gajinya kecil, tapi cukup untuk mengirim 200.000 ariary ke desa.

Di La Ville, Sitraka mencarinya. "Kau gila? Di sini uang mengalir!"

Vezo tersenyum, menunjuk ke arah laguna. "Laut juga mengalir. Tapi ia selalu kembali ke darat."

 

Tahun 2023 lalu, Vezo kembali ke Toliara sebagai nelayan di Ifaty. Di saku bajunya, ia selalu membawa sepotong batu karang, bukan jimat, tapi pengingat. Di rumahnya yang sederhana, tergantung foto adiknya yang kini menjadi guru di desa.

Suatu sore, ia melihat seorang pemuda dari desa datang ke Toliara, wajahnya berbinar seperti dirinya 20 tahun lalu. Vezo mendekat, menepuk bahunya:

"Dengarlah: Ny onja mihinana ny vato, fa ny vato tsy mihinana ny onja."

Pemuda itu tertawa. "Aku tahu. Aku akan taklukkan kota ini."

Vezo tersenyum, menunjuk ke arah ombak yang memecah di karang. "Tidak. Tapi kau bisa memintanya mengantarmu pulang."

Angin laut berhembus, membawa butiran garam menempel di wajahnya. Di Toliara, gelombang tak pernah berhenti menggerus batu, tapi batu itu tetap ada, menunggu saat laut mengembalikannya ke darat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun