Vezo tak peduli. Esok pagi, ia membeli jaket kulit sintetis dan sepatu kets berlogo palsu, hadiah ulang tahun untuk diri sendiri. Di La Ville, ia minum toaka gasy campur cola, menari dengan Sitraka, penyanyi salegy yang suaranya seperti desau angin laut. Ia lupa pada janji pada ibunya. Ia lupa pada desa. Ia bahkan lupa pada namanya yang asli: Andriana, "anak raja" dalam bahasa Malagasi, sebuah nama yang kini terdengar seperti lelucon.
Malapetaka di Bawah Bulan Purnama
Hari ke-7, uangnya habis. Vezo dipaksa Dama mengambil "tugas khusus": selundupkan kratom (daun stimulan ilegal) dari kapal nelayan Thailand ke gudang di pelabuhan. Malam itu, saat ia menyembunyikan paket di balik kain sarung, polisi pelabuhan menangkapnya.
"10 juta ariary atau penjara," desis komandan polisi, jarinya mengetuk pistol.
Vezo pulang dengan tangan kosong, keringat dingin mengucur. Di Kamari, ia menemukan surat dari desa:
"Adikmu sakit. Butuh 500.000 ariary untuk obat. Ibumu menjual ayam terakhir."
Ia menangis di atas tikar anyaman, bau amis ikan asin dari pasar menguar di udara. Di luar, suara dancing dari La Ville masih menggema, lagu salegy yang dinyanyikan Sitraka:
"Toliara dia tanjona...
Misy fahafahana sy fahafahana...
Misy fahafahana tsy azo ovana!"
(Toliara adalah impian...
Ada kesempatan dan kebebasan...
Ada kebebasan yang tak bisa dihancurkan!)
Â
Tapi di telinga Vezo, lirik itu berubah jadi ejekan.
Â
Roh Laut yang Pulang
Keesokan pagi, Solo mengetuk pintu kosnya. Di tangannya, ada keranjang anyaman berisi vadai dan sepotong vato mantatra, batu karang berbentuk tengkorak yang ia jual pada turis.
"Ini untukmu," katanya. "Bukan jimat. Tapi pengingat: kau bukan batu yang akan dihancurkan ombak. Kau adalah vato mantatra, batu yang dipilih laut untuk kembali ke darat."